Love #38

9.8K 841 159
                                    

Tenggorokan tambah nggak enak. Gatal 😣😷😷.

💍💍💍

Kalau Mamanya memutuskan langsung berdiskusi dengan Papanya di hari setelah pemberitahuan bahwa Papanya akan melamar Mamanya, Ai butuh dua hari untuk memantapkan hati.

Dan dua hari kemudian, Ai, Rahil dan Rene duduk bersama di ruangan kerja Ai di Rainbow. Ia sengaja meminta keduanya ke Rainbow karena lebih efisien. Dan privasi.

Keduanya duduk di sofa minimalis yang ada di ruangan Ai. Ai sendiri duduk di sofa panjang bersama Rahil, sedang Rene di sofa tunggal.

"Terima kasih sudah menyempatkan datang." Ucap Ai agak gugup dan canggung.

Rene tersenyum. "Sama-sama. Kebetulan tidak ada jam lagi kok. Pekerjaan di kampus sudah selesai."

"Iya. Mumpung aku juga kosong." Rahil mengiyakan.

Ai mengangguk. "Uhm, oke. Seperti yang sudah dibilang Adek Rahil, kita akan membahas masalah niat Mas Rene datang ke rumah kemarin lusa."

Wajah tenang Rene berubah seketika dengan harap-harap cemas.

"Kenapa Mas Rene ingin menikahi saya?"

Pertanyaan Ai membuat Rahil yang tadinya memandang keduanya dengan santai sambil bersedekap dan bersandar, kini menatap Rene.

Rene berdeham kecil lalu tersenyum. Lebih ke menenangkan diri. "Apa perlu alasan untuk itu?"

Ai mengangguk. "Kecuali kita dijodohkan, saya rasa ya, apapun itu dan sesedikit pun itu pasti ada alasannya."

Rene terdiam. "Nyaman. Saya selalu nyaman bersama kamu."

"Hanya itu?"

Rene mengangguk. Mantap. Ai pun mengangguk. Lantas keduanya terdiam. Sedang Rahil dengan sabar menunggu sambil memakan kue suguhan.

"Kita tidak saling mengenal secara pribadi." Kata Ai lagi setelah terdiam beberapa saat.

Rene kembali tersenyum, yang bisa dilihat Ai dari sudut matanya saja. "Aisha yang tidak mengenal saya secara pribadi. Saya...bekerja disini selama tiga bulan, sudah cukup untuk mengenal kamu, sifat kamu, sikap kamu, makanan dan minuman kesukaan kamu."

Penuturan Rene seketika membuat Ai mendongak dan menatapnya sebentar. Padahal tidak setiap hari mereka bertemu dan berinteraksi, tapi Rene bisa melihatnya sejauh itu?

"Tentu juga bertanya pada Rahil sambil lalu." Tambah Rene.

Rahil melirik Rene sambil manggut-manggut dengan sebuah pemahaman baru.

"Saya juga tahu betapa kamu dijaga semua orang. Dimanja oleh keluargamu dan manja pada mereka terutama Papamu." Mendengar itu membuat wajah Ai langsung memerah. "Intinya, saya tahu tentang kamu walaupun tidak seratus persen tentu. Kalau kamu mengijinkan saya menjadi halal bagimu, saya bisa belajar lagi lebih banyak tentang seorang Aisha Rashadaania Kirana Aditya binti Rashad Dwi Aditya."

Saat namanya disebut berikut nasabnya, hati Ai berdesir tanpa bisa dicegah. Rasanya seolah tangan Papanya tengah menggenggam tangan Rene.

"Saya tidak punya kekuatan fisik berlebih seperti para lelaki di keluargamu. Tidak punya kekuasaan apapun. Hanya seorang dosen yang masih tinggal bersama Ibunya. Kalaupun disebut harta, saya hanya punya sebuah city car mini dan motor matic. Saya punya seorang Kakak perempuan bernama Maryam yang sudah bekerja dan menikah di Surabaya. Juga seorang Adik perempuan bernama Annisa yang juga kuliah di Perancis."

Rene berhenti sejenak. Ia membasahi tenggorokannya dengan teh hangat yang sedikit mendingin. Lalu berdeham kecil.

"Sebelum saya meyakinkan diri sendiri dan mendapat restu dari semua pihak terutama Allah, saya tidak ingin mendekati kamu. Saya hanya bisa berdoa walaupun sejenak sempat berhenti saat mendengar ada yang hendak melamar kamu, orang terdekat Papa kamu. Tapi saya percaya jika memang berjodoh, pasti ada jalan. Karena sekarang pun kamu sudah bebas, saya ingin memperjuangkan kamu."

Ai Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang