Love #3

17K 1.1K 52
                                    

Mata hazel Rene masih menatap Ai intens saat menarik tangannya dan ikut menangkupkannya seperti yang dilakukan gadis manis di depannya itu.

"Ahem!" Rahil berdehem melihat tingkah rekan kerjanya. "Mas Rene dosen baru disini, Mbak." Terangnya. "Dan aku cerita kalau Mbak Ai lagi cari tutor pengganti sementara."

"Ah, je comprends. (Aku mengerti)" Ai mengangguk, masih menunduk sambil sesekali meminum teh botolnya.

"Kebetulan bahasa Perancis adalah mother tounge-nya karena Maman-nya orang Perancis."

"Kalau untuk sementara, seperti yang disebut Rahil, sekitar tiga bulan, sepertinya saya masih bisa menyisihkan waktu." Saat perkenalan tadi suara Rene terdengar berat tapi empuk, dan ketika bicara panjang pun mengalun enak.

Ai terdiam sesaat lalu mendongak. "Kalau memang bersedia, kita bisa bicara detailnya di kantor saya." Ia membuka tasnya, mengambil kartu nama kantor dari dalam dompet dan menyerahkannya pada Rene.

"Oke. Senin sepulang mengajar dari sini saya ke..." Rene membaca kartu nama ditangannya. "Rainbow. Sekitar jam dua?"

"Boleh. Merci beaucoup." Ai mengangguk.

Rene mengibaskan tangannya sambil tersenyum membuat kadar kegantengannya naik 100%. "De rien. Kan saya dibayar. Bukan gratis toh?" Godanya.

Ai dalam hati agak kaget juga mendengar cara bicara Rene yang kalau mode bahasa Indonesia dia akan bertutur dengan logat Indonesia tanpa cadel khas bule. "Ya. Tentu."

"Mbak, aku mau beli nasi goreng tapi nanti Mbak Ai sendirian." Celetuk Rahil dilema saat merasa pembicaraan bisnis sudah selesai.

"Kan ada saya?" Sahut Rene agak bingung.

Rahil menatap tajam pada rekannya. Selama mengenal Rene, dia merasa lelaki muda itu memang baik. Instingnya biasanya tak pernah salah. Masalahnya, dirinya nyaris tidak pernah meninggalkan Ai sendiri di keramaian seperti ini.

"Memang. It's just..."

Rene terkekeh. "Takut Mbaknya saya makan?"

Ucapan Rene semakin membuat Rahil melotot tajam. Karena bagi Rahil, urusan keluarga bukan main-main. Dan membuat Rene kaget selama ini ia menganggap Rahil yang kalem juga ramah dan dirinya yang lebih dikenal dosen dingin.

"Mbak ikut saja." Ai menengahi. Ia juga tak ingin tinggal bersama orang yang tak dikenal.

"Oke. Titip mejanya boleh? Mau pesan juga?" Kali ini Rahil sudah kembali ramah.

Rene mengangguk. "Bakso komplit."

"Saya tinggal sebentar." Rahil pun beranjak diikuti Ai.

Baru tahu kalau Rahil cukup overprotective, batin Rene sambil mengikuti keduanya dengan tatapan mata.

Tak sampai sepuluh menit keduanya kembali. Dan sepuluh menit kemudian pesanan mereka bertiga sampai.

Bakso untuk Rene dan nasi goreng untuk Ai dan Rahil.

Sambil makan, Ai merasa agak jengah saat menyadari kantin yang cukup ramai jadi agak sesak bukan karena orang-orangnya butuh makan. Tapi karena dua lelaki muda yang duduk berhadapan dan semeja dengannya. Satu tengah asyik menikmati bakso dengan sambal gila-gilaan dan satunya mengunyah nasi goreng dengan tenang.

Banyak diantara mereka, yang Ai yakin para mahasiswi, mengambil foto diam-diam sambil cekikikan. Kalau Sahil pasti risih.

"Oh ya, kata Rahil keluarga kalian juga bisa ngomong Perancis ya?" Tanya Rene memecah keheningan.

Ai menatapnya sejenak lalu menunduk lagi. "Ya. Bisa dibilang L2 Mama itu bahasa Inggris dan Perancis."

"Super." Puji Rene takjub. Ia hanya tahu bagian mereka bisa bicara bahasa Perancis saja. "Papa kalian?"

Ai Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang