11. Interupsi

20.4K 1.3K 14
                                    

Thanks atas vote anda 😍.

Setelah menunggu sekitar satu jam, rombongan yang ditunggu datang juga. Seorang berpakaian gamis brukat turun dari Pajero hitam yang terparkir di halaman PPDS. Bisa kupastikan, beliau adalah bu nyai Mila. Wajah beliau sudah tak asing karena terkadang mengisi ceramah di stasiun TV nasional. Tak lama kemudian, ning Adiba menyusul turun. Hampir bersamaan dengan yai Miftah yang turun dari pintu depan.

Umi ramah menyambut bu nyai Mila dan ning Adiba. Keramahan umi pada dua tamu perempuan itu tulus tak dibuat-buat. Aku bersyukur melihat keanehan sikap umi tadi sudah menghilang. Berarti keanehan umi tadi bukan karena aku ataupun abah.

Aku mengekori abah yang menyambut yai Miftah. Kucium tangan yai Miftah dengan ta'dzim, sementara abah langsung berbincang akrab dengan beliau. Abah dan umi membimbing semua tamu memasuki ndalem.

"Anggap kaya rumah sendiri mba' nyai.." ucap umi sambil menyuguhkan semangkok masakan berkuah hitam pada nyai Mila.

" ucap umi sambil menyuguhkan semangkok masakan berkuah hitam pada nyai Mila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wuah,, alhamdulillah.. ini lho nak yang namanya pindang tetel, menurut umi enak,. Coba saja.." Nyai Mila memberitahu puterinya.

Ning Adiba mendekatkan semangkok hidangan itu. Aku melihatnya menaruh dua sendok sambal gula merah ke dalam mangkok. Ah, pandanganku tak bisa terlepas dari dia. Curi-curi pandang padanya, padahal aku duduk di depan abah dan yai miftah.

"Seperti Rawon ya Mi", ucap Adiba pada nyai Mila. Oh, suara itu yang dulu sempat membuat geger para  santri putra PP Raudhatul Huda Tasikmalaya.

"Iya. Benar." Jawab nyai Mila.

"Enak Mi. Kalau di Ngawi kerupuk yang kaya gini ada apa enggak Mi?", tangan ning Adiba sambil menyendok kerupuk yang sudah ada di dalam mangkok.

"Enggak. Kira-kira kalau diganti gendar apa masih bisa seenak ini?" Tanya nyai Mila.

"Kalau pindang tetelnya enak, sambalnya mantap, pakai kerupuk apa saja tetap nikmat" Umi menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.

Perbincangan tentang pindang tetel beralih ke kabar pondok. Abah dan yai Miftah yang mulai berbincang.

"Subhanallah,, pondoknya tambah besar saja pak lurah" ungkap yai miftah.

Kenapa abah dipanggil pak lurah? Apa jangan-jangan dulu abah adalah lurah pondok? Pertanyaan itu hanya bisa kuungkap dalam hati. Tak sopan menyela pembicaraan dua orang tua.

"Alhamdulillah,, Doanya, ini masih membangun satu gedung lagi untuk asrama putri 5." Jawab abah.

"Amin..," yai Miftah mengamini. "Masih ada santri yang nyalaf di sini pak lurah?" Tanya yai Miftah pada abah

"Alhamdulillah masih yai. Ada satu gedung khusus santri salaf. Diasuh oleh mas Idris", jawab abah.

Kyai Idris yang disebut abah adalah kakak kandung Abah. Beliau biasa kupanggil dengan sebutan pakde. Sampai sekarang beliau belum dikaruniai putra. Beliau juga seperti tidak berniat mengambil putra angkat. Di desa kami, bila Abah itu bapaknya para santri PPDS, maka pakde Idris bapaknya penduduk. Tempat berkeluh kesah tentang banyak hal. Aku terbilang sering ke ndalem beliau, karena aku tidak terlibat di sekolah formal seperti mas Basith. Jadi waktu luangku lebih banyak.

Pilihan Sang Gus [Khatam] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang