13

16 2 0
                                    

Mendengar penjelasan Noki, Leony dan Cornia, Guru Han mengangguk takzim. Berpikir sejenak.

"Kalau mendengar dari cerita kalian, ini sepertinya aneh. Tidak masuk akal bagi orang awam. Aku bahkan belum pernah menjumpai kasus seperti masalah kalian ini" dahi keriputnya berkerut.

Mendengar itu, enam bersahabat itu langsung tertunduk lesu. Kehilangan harapan.

"....tapi dari banyak buku yang telah aku baca, aku pernah menemukan sebuah buku yang membahas permasalan seperti ini. Tidak persis sama, tapi cukup membantu kalian menemukan jalan keluarnya" lanjutnya. Demi mendengar itu, kepala mereka langsung mendongak. Wajah mereka seketika cerah. Mereka belum benar-benar kehilangan harapan.

Guru Han berdeham. "Tapi sayangnya buku itu tidak ada di sini. Aku pun sudah lupa bagaimana isinya. Buku itu aku temukan sepuluh tahun yang lalu. Saat bertandang ke kota Zummer memenuhi undangan pernikahan anak sepupu jauhku. Ada sebuah perpustakaan di tengah kota. Rumah sepupuku persis berada di seberangnya. Aku mengunjungi perpustakaan itu dan tanpa sengaja menemukan buku itu" Guru Han terdiam sebentar. "Jalan satu-satunya kalian harus pergi ke sana mencari buku itu. Kabar buruknya, itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa memastikan buku itu masih ada di sana atau tidak. Tapi berdoalah semoga buku itu masih tersusun rapi di raknya" sambungnya.

Mereka berenam ditambah Noki, menghembuskan napas pelan. Wajah mereka lesu lagi. Baru saja mendapatkan kabar baik berita buruk pun ikut muncul setelahnya.

Mau tidak mau mereka harus pergi ke kota Zummer mencari buku itu. Menunggu beberapa hari lagi hingga masalah itu benar-benar menemukan pemecahannya.

Dengan wajah tertunduk lesu mereka melangkah keluar dari perpustakaan Guru Han. Orang tua itu memberi mereka alamat perpustakaan itu beserta judul bukunya. Orang tua itu tidak bisa membantu banyak. Tapi setidaknya mereka telah menemukan tujuan mereka berikutnya. Di bawah matahari yang terik mereka memilih untuk segera pulang. Karena tak ada lagi tempat yang hendak dikunjungi.

Sepanjang perjalanan pulang mereka berpapasan dengan satu dua penduduk yang menatap mereka heran. Namun meskipun begitu penduduk itu selalu bersikap ramah saat mereka mencoba menyapa.

Setiba di rumah mereka mendapati Niki tengah menumbuk biji kopi yang dipetik dari kebun dengan lesung. Demi melihat itu Cesya langsung antusias ikut membantu. Ia memang selalu tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan tradisional semacam itu.

Noki menyarankan mereka beristirahat sementara ia sendiri pergi keluar hendak menemui seorang teman. Ada keperluan.

Virga dan Nesya kembali ke kamar. Hendak tidur barang satu atau dua jam.

Gemi, setelah meminta izin pada Niki, mengajak Leony melihat-lihat kebun belakang rumah, sekaligus memetik sayur-sayuran untuk dimasak untuk makan siang. Melihat semuanya sibuk sendiri-sendiri Cornia yang tidak punya ide meu melakukan apa memutuskan untuk berjalan-jalan keluar mencari angin.

Cornia tidak tahu seluk beluk desa ini. Ia hanya berjalan mengikuti jalanan desa yang semakin ke ujung semakin sepi rumah penduduk. Hanya ada satu dua rumah lantas sisanya kebun-kebun luas dengan pondok-pondok kecil yang terlihat di kejauhan. Ia menyapa ramah setiap orang yang ditemuinya. Barusan ia melewati jalan kecil menuju perpustakaan Guru Han. Di sana lengang.

Dua puluh meter dari tempatnya berdiri Cornia melihat seorang gadis kurus dengan rambut disanggul sedang berjalan terburu-buru. Ia seperti mengenali orang itu. Setelah ditelitinya lagi ternyata benar. Itu Vu. Ia hendak menyapa, namun sebelum ia sempat memanggil Vu telah berbelok ke sebuah persimpangan di depan.

"Vu tampak buru-buru sekali. Ah ya, mungkin dia hendak pulang untuk makan siang. Lagi pula ini sudah saatnya makan siang" Cornia menerka, bicara pada dirinya sendiri.

Matahari persis berada di atas kepala. Cornia memutuskan untuk segera pulang. Perutnya mulai berbunyi minta diisi. Pasti di rumah, Niki dan yang lain sedang menyiapkan makan siang. Ia juga ingin membantu.

Tapi di pertengahan jalan langkahnya terhenti saat mendengar suara tangisan seseorang. Lebih tepatnya suara tangisan perempuanyang terdengar sayup-sayup. Ia memperhatikan sekeliling. Hanya ada padang ilalang di kanan kiri. Di ujung jalan hanya terlihat satu rumah penduduk. Jalanan lengang. Siapa pula yang menangis di tempat sepi seperti ini? Pikirnya.

Cornia mempertajam pendengaran, mencari sumber suara. Jika ia tidak salah dengar, suaranya berasal dari padang ilalang yang ada di sebelah kirinya. Ia celingukan. Ada sebuah pohon besar di tengah padang ilalang. Dan kalau ia tidak salah lihat ia seperti melihat seorang perempuan duduk di balik pohon itu. Tanpa pikir panjang ia menghampirinya.

Perempuan itu tampak tertunduk sambil terisak saat Cornia tiba di dekatnya. Setelah berpikir sejenak Cornia akhirnya menyapa.

"Hai nona, kenapa menangis dan duduk sendirian di sini? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Cornia sopan. Gadis itu mendongak menatap Cornia. Wajahnya cantik, namun terlihat sangat pucat. Matanya sedikit sembab karena menangis. Ia memerhatikan Cornia sesaat yang dibalas dengan senyuman oleh Cornia. Cornia mengulurkan tangan ingin berkenalan. Gadis itu tampak sedikit ragu, dan akhirnya patah-patah berdiri menjabat uluran tangan Cornia.

"Perkenalkan, namaku Cornia"

"Ran" ucap gadis itu singkat. Ia terlihat amat cantik. Mengenakan gaun selutut tanpa lengan berwarna coklat terang, tampak cocok dengan kulit putihnya. Rambutnya lurus panjang hingga sepinggul. Hanya saja wajahnya terlihat sangat pucat dengan tatapan kosong.

Ia kembali duduk menjiplak tanah. Cornia ikut duduk di sampingnya. Ternyata di depan mereka tidak hanya ada padang ilalang tapi juga ada banyak bunga yang tumbuh bermekaran di banyak tempat. Warna-warninya terlihat indah. Angin sepoi-sepoi menggoyang daun ilalang.

"Kamu sedang apa sendirian di sini? Sambil menangis?" Cornia memecah lengang.

"Taman ilalang ini adalah tempat favoritku. Aku selalu menghabiskan waktu sepanjang hari di sini" hanya itu jawaban dari Ran. Tampaknya enggan membahas kenapa ia menangis. Cornia menghembuskan napas pelan mencoba memahami.

"Umurmu berapa Ran? Tampaknya kita seumuran" tanya Cornia lagi berusaha mencairkan suasana. Ran menyebutkan umur dengan suara datar.

"Wah.. Ternyata benar, kita seumuran!" kata Cornia antusias. Ia mencoba mengajak Ran mengobrol tentang banyak hal. Mencoba menghibur gadis itu. Hingga setengah jam kemudian ia tersadar bahwa tadi berencana hendak pulang. Ia akhirnya pamit pada Ran, bilang jika ada kesempatan ia akan mengunjungi gadis itu lagi di sini.

"Terima kasih telah menghibur dan menemaniku di sini Cornia" ucap Ran sebelum Cornia pergi. Ia tersenyum samar hampir tak terlihat. Cornia mengangguk, balas tersenyum lantas buru-buru melangkah pulang.

Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang