4

26 3 0
                                    

Gemi menggeliat sesaat lantas membuka mata, terbangun dari tidurnya. Mengerjap-ngerjap, meneliti sekitar yang agak remang. Ia mengernyit, ini dimana?

Sedetik kemudian ia mulai dapat mengenali ini tempat apa, ini gua! Menyusul ingatan-ingatan tentang kejadian di perkemahan, menyusuri hutan mencari Leony dan Cornia, kera besar bermata merah menyeramkan dan berakhir dengan sebuah lubang hitam. Apakah ini ujung dari lubang hitam itupikirnya.

Ia menoleh ke sekitar, teman-temannya terkapar di sekelilingnya. Tampak terlelap. "Teman-teman... Bangun...!" Ia mengguncang tubuh teman-temannya agar terbangun.

"Huaaah.. Ada apa Gemi? Kenapa kau membangunkanku? Kau merusak mimpi indahku saja!" tanya Virga setengah sadar. Ia sudah duduk dengan rambut kusut berantakan sambil mengucek mata.

"Mimpi indah katamu? Hei, sadarlah... Lihat! Dimana kita berada sekarang?!" jawab Gemi agak jengkel.

"Memangnya kita dimana?" Kali ini Nesya yang bertanya, ia juga telah terjaga begitu pula dengan yang lainnya.

Gemi mendengus. "Bukalah mata kalian dengan sempurna." Mereka telah sadar sepenuhnya, menatap penuh tanda tanya. Leony tak butuh waktu lama untuk paham dengan apa yang terjadi.

"Bukankah sebelumnya aku terpeleset jatuh ke dalam sebuah lubang? Lalu kenapa sekarang aku berada di sini, bersama kalian?" tanyanya.

"Beberapa saat kau jatuh ke dalam lubang itu, aku dan yang lainnya juga ikut menyusul, ikut melompat ke dalamnya. Tak ada pilihan lain dari pada menghadapi kera aneh itu," jelas Cornia.

"Hanya saja yang tak kumengerti adalah bagaimana kita bisa sampai di sini. Kalau penglihatanku tidak salah, ini sebuah gua bukan?" tambahnya lagi. Yang lain mengangguk, ikut bingung bagaimana mereka bisa sampai di tempat ini.

Gua itu kecil saja, dengan banyak bebatuan di dekat dinding-dindingnya. Dingin dan remang. Tak jauh di depan ada cahaya yang masuk, mungkin itu pintunya.

"Ini aneh. Jika tempat ini adalah ujung dari lubang itu, maka tentu akan ada lubang di sekitar atap gua ini atau dimanalah di sisi gua ini. Tapi mengapa semua dinding gua ini tak terlihat sedikitpun celah lubang itu?" Nesya meneliti setiap sisi gua.

"Kamu benar, ini tak masuk akal" Cornia membenarkan.

"Sudahlah, dari pada habis waktu memikirkan itu, lebih baik kita keluar. Mencari petunjuk arah jalan pulang," ajak Leony. Semuanya mengamini.

***

Telah satu jam mereka berjalan menyusuri hutan, menebak-nebak arah jalan kembali ke tenda. Namun sejauh itu, belum juga ada tanda-tanda mereka akan menemui jalan pulang. Malah makin ditelusuri, hutan ini seperti tak ada ujungnya. Luas sekali.

Berjalan kaki di tengah hutan tanpa petunjuk itu rasanya seperti tersesat di tengah gurun pasir. Sejauh mata memandang, semuanya nampak sama. Pohon-pohon di hutan ini besar-besar, dahannya rindang, batangnya tinggi menjulang. Seperti telah beratus tahun umurnya. Semak belukar setinggi dada mengisi setiap sisinya. Tak ada celah apalagi jalan setapak. Benar-benar hutan belantara.

Tiap kali menyibak belukar, selalu saja ada ulat dan serangga kecil menggelikan. Membuat Gemi, Cesya dan Virga terpekik berkali-kali. Mereka bertiga memang sangat takut dengan serangga kecil apalagi ulat.

Hutan ini benar-benar jauh dari aktivitas kehidupan manusia. Hanya ada pohon sejauh mata memandang. Riuh suara burung dan serangga membuat ramai. Sinar matahari menelusup celah-celah daun pepohonan.

"Kira-kira sampai berapa lama kita akan menyusuri hutan seperti ini? Perutku sudah sakit menahan lapar, kita belum sedikitpun mengisi perut sedari mulai berjalan tadi. Juga, badanku pun lelah sekali," keluh Cesya.

Yang lainnya menatap prihatin. Mereka juga merasakan hal yang sama. "Kalau begitu, kita istirahat dulu saja. Kita bagi tugas. Sebagian tinggal disini membuat api dan menebas belukar-belukar ini. Selebihnya yang masih kuat, pergi mencari makanan di sekitar sini, buah-buahan atau apapun yang bisa dimakan. Bagaimana?" usul Cornia.

Mereka saling tatap sesaat lantas mengangguk, setuju. "Baiklah, aku akan pergi mencari makanan. Siapa yang akan ikut denganku?" tanyanya lagi. Leony berjalan ke arahnya, berdiri di sampingnya. "Aku."

Melihat Virga, Gemi dan Cesya hanya diam di tempat masing-masing, Nesya pun akhirnya memilih untuk ikut dengan Cornia dan Leony.

"Nah, kalian yang tinggal disini, nyalakanlah api unggun. Nyamuk-nyamuk disini sungguh luar biasa, buatlah asap agar mereka pergi. Kami pergi dulu, setengah jam lagi kami kembali. Semoga saja ada makanan yang bisa ditemukan," ucap Cornia.

***

Cornia, Leony dan Nesya menyibak semak belukar, terus mencari sesuatu benda yang bisa dijadikan makanan. Sudah lima belas menit, tapi mereka belum mendapat apa pun. Tiba-tiba Nesya berhenti.

"Tunggu teman-teman! Apakah kalian mendengar suara itu?" tanyanya. Cornia dan Leony saling tatap, lalu ikut menajamkan pendengaran. Wajah Leony berubah cerah.

"Itu seperti suara sungai!" serunya senang.

"Betul!" jawab Nesya tak kalah senang.

"Kalau ada sungai, berarti kita bisa mencari ikan di sana untuk makan siang kita, sekaligus pertanda bagus bahwa bisa jadi tak jauh dari sini ada ladang atau tempat tinggal penduduk!" Cornia menarik kesimpulan. Wajah mereka berbinar. Itu benar, biasanya orang-orang pasti akan memilih tinggal di dekat sumber air seperti sungai, dan itu bisa jadi petunjuk untuk mereka menemukan jalan pulang. Setidaknya mereka bisa meminta pertolongan warga setempat. Sungguh sebuah keberuntungan!

Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang