34

57 3 11
                                    

Cornia menatap lamat-lamat langit-langit kamar. Sejak teman-temannya kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, meninggalkannya sendiri di kamar tiga kali empat meter itu, matanya tak kunjung terpejam.

Tangannya meraba saku jaket, menyentuh tonjolan buku tua itu. Mengetuk-ngetuk dengan telunjuknya.

"Kenapa semuanya jadi seperti ini?.. Kenapa Vuko sialan itu harus menculik Gemi? Bukankah dia bisa mengambil bukunya saja?.. Dan.. Apa pula urusannya dengan buku tua itu? Ah ya, dia anggota Blackwolf.. Tapi punya kepentingan apa kelompoknya itu dengan kami?.." Cornia mendesah resah. Perasaannya tak menentu saat ini. Terutama mengingat Gemi diculik oleh Vuko. Apa saja bisa terjadi pada Gemi. Mereka harus mencari cara untuk menyelamatkan Gemi.

Bosan menatap langit-langit, ia pun akhirnya memutuskan untuk turun dari ranjang, berjalan-jalan keluar. Dengan mencengkram tepi ranjang, ia berusaha turun dengan hati-hati. Perutnya terasa nyeri begitu ia berhasil menjejak lantai. Tapi tak mengapa, masih bisa ditahan.

Perlahan-lahan ia mulai berjalan keluar dari kamar. Melewati lorong kamar-kamar yang berada di kiri-kanannya. Mungkin itu kamar-kamar yang ditempati oleh teman-temannya. Ia tidak bisa memastikannya karena semua pintu kamar itu tertutup.

Dengan berpegangan ke dinding, ia terus berjalan hingga sampai di ruang tengah. Sepi, tidak ada siapa-siapa. Lanjut berjalan menuju pintu sambil memegangi perut.

Setiba di beranda rumah, ia menatap berkeliling memperhatikan sekitar. Ternyata lingkungan rumah itu tak jauh berbeda dengan desa Noki. Di bagian samping kanan rumah, ada beberapa rumah tetangga yang berjejer dengan jarak kurang lebih lima meter. Di batasi oleh barisan tumbuhan hias yang memanjang membentuk pagar. Juga ada beberapa pohon berbuah seperti jambu dan mangga.

Di bagian kiri rumah, terlihat sebuah lapangan kosong yang berukuran setengah dari lapangan bola. Di seberangnya, ada bangunan memanjang seperti sekolahan. Di lingkupi dengan pagar bambu bagian depannya. Sementara bagian depan rumah sendiri adalah hutan lepas. Banyak pohon-pohon besar dan tumbuhan liar.

Cornia melangkah ke halaman rumah, ada sebuah bangku panjang di sana, diatapi oleh sebuah pohon besar rindang. Angin bertiup menerbangkan anak rambut. Terasa menyegarkan di bawah cuaca yang terik. Ia tinggal selangkah lagi dari bangku panjang ketika tiba-tiba seekor anjing putih besar berlari ke arahnya dari arah lapangan.

"Guk guk guk!! Guk gukk!!"

Tanpa menghiraukan rasa nyeri di perut yang makin menjadi, ia langsung lompat ke atas bangku panjang sambil mengibas-ngibaskan tangan mengusir anjing itu.

"Huss! Huss!! Jangan ganggu aku! Pergi sana! Huss!!" Cornia semakin cemas saat anjing besar itu mulai menaikkan dua kaki ke pinggir bangku, menjulurkan lidah sambil sesekali menggonggong. Ia berpegangan pada sandaran bangku, merapatkan tubuh.

"Tolong...! Tolong...! Anjing siapa ini yang lepas..?!! Tolong...!" teriaknya panik.

"Gukk gukk!!" anjing itu, bukannya menjauh, justru semakin gencar mendekati Cornia. Ekornya bergerak-gerak.

"Aduh... Anjing siapa ini?.. Seseorang, atau siapapun yang dengar, tolong...!!" Cornia kembali menjerit, sambil tetap ber-hus-hus mengusir si anjing.

"Guk! Gukk gukk!!"

"Hei, jangan ganggu dia, Shiro! Berhenti! Dia bukan orang jahat!"

Anjing putih itu, yang tadinya begitu gencar mengganggu Cornia, seketika diam dan menurunkan kedua kakinya. Berbalik mengejar orang yang memanggilnya.

Cornia menghirup napas lega, menoleh.

"Key?"


Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang