36

72 2 20
                                    

"Baiklah, anak-anak. Karena kalian semua sudah berada di sini, aku ingin bertanya....."

"Uhm... Maaf, Kek, menyela. Aku ingin menyampaikan sesuatu" lagi-lagi ucapan Kakek Tokey terpotong oleh Leony. Setelah menghela napas pelan, Kakek Tokey menoleh pada Leony, juga semua orang yang ada dalam lingkaran.

"Katakanlah apa yang ingin kau sampaikan"

Leony terdiam sejenak, merasa risih diperhatikan oleh semua orang. Sementara angin semakin kencang, mematikan salah satu obor yang tertancap di sudut lapangan. Di langit, awan semakin gelap, sesekali kilat menyambar. Membuat terang sekitar.

"Begini, Kek. Aku ingin memberitahu bahwa kami tidak bisa menerjemahkan semua isi buku tua itu..."

"Ya, aku sudah tahu soal itu. Teman-temanmu sudah memberitahuku" kali ini Kakek Tokey yang memotong ucapan Leony, membuat gadis itu salah tingkah. Menatap teman-temannya sambil menyeringai. Yang lainnya mengangguk, benar, mereka sudah menyampaikannya.

"Uhm.. Tapi bukan hanya itu saja yang ingin ku sampaikan, Kek. Masih ada lagi" Leony kembali menatap Kakek Tokey.

"Katakanlah"

"Aku baru saja menemukan ini, Kek" Leony mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Semua orang berusaha melihat benda yang disodorkannya itu. Kilat yang menyambar di langit membuat terang lapangan, juga membuat benda itu terlihat jelas. Benda bulat pipih yang terbuat dari kaca.

"Ini kaca pembesar penerjemah, Kek. Ini pemberian dari Guru Han, tetua desa sekaligus pemilik perpustakaan di desa Noki. Orang yang memberitahu kami informasi tentang buku tua itu.." Leony menarik napas sejenak.

"Waktu kami berangkat ke kota Zummer, Guru Han sempat memberikan sebuah bungkusan. Aku dan yang lainnya belum pernah membukanya. Dan tadi saat aku membongkar isi tasku, aku menemukan bungkusan itu dan membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah buku catatan dank aca pembesar ini. Aku juga menemukan sebuah surat yang ditulis Guru Han tentang kaca pembesar ini. Ia bilang kaca pembesar ini bisa membaca sekaligus menerjemahkan jenis tulisan apapun"

Malam itu, mereka semua tidak jadi belajar bela diri bersama Kakek Tokey. Setelah penjelasan singkat Leony tentang kaca pembesar penerjemah itu, tetes hujan pertama setelah berbulan-bulan tidak pernah turun hujan akhirnya menyirami desa. Hujan itu datang tiba-tiba, disertai angin kencang, rintiknya yang besar-besar dalam sekejap membuat semuanya basah. Semua orang tanpa diberi aba-aba sudah lari menuju asrama, berteduh. Sementara lampu obor di pinggir lapangan sudah padam sama sekali. Hujan badai membungkus desa.

***

Tengah malam sudah beranjak dini hari. Di luar, hujan badai sudah berangsur reda, meninggalkan gerismis yang masih agak lebat. Suara bulirnya yang jatuh menimpa atap terdengar menyenangkan, ditingkahi derik serangga malam. Udara dingin menusuk tulang, tetap terasa meski telah mengenakan jaket dan selimut tebal sekalipun. Suasananya sangat tepat untuk bergelung di balik selimut. Namun Leony, Cornia dan Nesya masih berkutat dengan buku tua itu. Membungkus badan dengan selimut sambil tetap fokus membaca setiap halaman bukunya. Meski rasa kantuk makin kuat melanda.

Setelah kembali dari asrama saat hujan lebat tadi malam, mereka semua memutuskan berkumpul di kamar Leony. Duduk melingkar di lantai untuk membaca buku tua itu bersama-sama. Awalnya menyenangkan sekali begitu mereka menggunakan kaca pembesar penerjemah milik Guru Han itu. Saling berebut mengarahkan kaca bulatnya ke buku. Namun hujan lebat dan udara yang dingin membuat rasa kantuk datang lebih cepat. Hingga akhirnya Cesya dan Virga yang memang tidak tahan kantuk, jatuh tergolek di lantai sambil bergelung dengan selimut masing-masing. Menyisakan tiga temannya yang masih gigih melawan kantuk.

"Rasa kantuk ini benar-benar membuatku tidak kuat lagi.. Huahmmm..." Nesya menegakkan punggungnya, menggeliat sambil menguap panjang. Matanya yang pegal sekaligus mengantuk, sedikit berair.

Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang