24

25 3 0
                                    

Suara api bergemeretuk di tungku perapian. Lidah api sesekali menjilat pinggiran dinding tungku yang dibangun kokoh dari batu. Cahayanya membuat seisi ruangan remang. Hanya itu sumber penerangan di dalam ruangan batu berbentuk bola berdiameter 3 meter itu.

Tidak ada pintu di ruangan itu, pun jendela. Semua dindingnya batu. Seperti sebuah batu bulat yang dilubangi isinya. Hanya ada satu celah untuk jalan keluar-masuk, corong tungku perapian. Dan corong itu pun cukup tinggi, karena ruangan batu itu tertanam cukup dalam ke bumi.

Bagi orang biasa, tentu tidak akan ada yang bisa bertahan berlama-lama di dalam ruangan batu itu. Tapi tidak dengan sang pemiliknya. Yang kini tengah duduk di singgasana batunya membelakangi perapian. Badannya terbungkus jubah hitam yang terbuat dari bulu serigala asli, sementara jarinya sibuk mengetuk-ngetuk meja batu berbentuk bundar.

"Untuk apa kau datang ke sini?" suara berat dan serak sang pemilik ruang batu itu memecah keheningan. Di belakangnya, orang yang diajak bicara itu berdiri gemetar.

"Mm.. Maaf, Yang Agung.. Aku ingin menyampaikan kalau.."

"Kalau kau kalah dan kedua anak buahmu yang bodoh itu tertangkap oleh anak-anak ingusan itu?" ucapannya terpotong oleh pertanyaan sang pemilik ruang batu. Sementara orang yang berdiri di belakangnya berubah pias.

"Bagaimana Yang Agung tahu?" tanyanya sedikit gemetar. Entah kenapa badannya tiba-tiba dingin, padahal suhu ruangan batu itu sangat panas.

"Tentu aku tahu" sang pemilik ruang batu yang dipanggil Yang Agung itu terkekeh pelan. Rambut panjang berombaknya menutupi setengah wajahnya, menyisakan satu mata tajam setajam mata serigala dan seringaian.

"Tapi... Aku hampir saja berhasil menghabisi mereka jika Si Mata Enam tidak menghalangiku" serunya membela diri.

"Justru kau harus berterima kasih pada Si Mata Enam, karna dia kau telah selamat dari kesalahanmu!" suara serak Yang Agung terdengar dingin. "Kapan aku menyuruhmu menghabisi mereka, Grey? Kapan? Aku selalu bilang, awasi mereka! Awasi setiap pergerakan mereka, cegah mereka mendapatkan buku itu! Apakah telingamu itu tuli, heh? Sudah berapa kali aku bilang! Mereka tidak boleh tahu siapa kita. Jangan ada satupun diantara kita yang menampakkan wujud di hadapannya. Kita hanya perlu mencari cara untuk mengirim mereka kembali ke asalnya, agar ramalan konyol itu tidak terjadi!" Yang Agung terdengar marah, membuat lelaki di belakangnya itu semakin ciut.

"Maaf.. Aku..."

"Sudahlah. Kali ini kau ku maafkan. Tapi, sekali lagi kau melakukan kesalahan, kau yang akan ku habisi!" suara Yang Agung begitu bertenaga, begitu mengancam.

"Ba..baiklah" jawab lelaki bernama Grey itu terbata.

"Sekarang pergilah. Awasi mereka! Kali ini, kau pergi sendiri. Aku tidak akan memberimu anak buah sampai kau bisa melepaskan kedua anak buah bodohmu itu. Dan ingat! Pastikan mereka berdua tidak membocorkan apapun tentang kita!" lelaki bernama Grey itu, tanpa diperintah dua kali, langsung bergegas menuju tungku perapian. Meninggalkan ruangan itu melalui corong, menghilang ke dalam api yang bergemeretuk, tanpa terbakar sedikitpun.


***

"Permisi...!"

Virga yang tengah takjim memotong-motong wortel di dapur, berlarian ke depan saat mendengar ada yang datang. Leony dan Cesya yang bertugas memanggang ikan, hanya menatap sebentar, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya membolak-balik ikan yang sudah setengah matang. Sambil sesekali meniup bara di tungku agar tetap menyala merah.

"Hei teman-teman! Aku dan Cornia membawakan singkong, kami berencana akan membuat kolak" Nesya muncul dari di pintu belakang, menenteng sebatang singkong dengan buah menjuntai besar-besar. Cornia juga muncul setelahnya, juga membawa sebatang singkong, meletakkannya di meja dapur.

Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang