21

15 4 0
                                    

Dahan-dahan pepohonan yang rindang meneduhkan seisi ladang. Angin berembus sepoi-sepoi membuat sejuk. Mereka berlima telah mulai memetiki buah cabai yang dimulai dari Niki. Terdapat 10 baris tanaman cabai dalam sepetak tanah itu. Masing-masing mereka memetiki satu baris. Dan ternyata, di sebelah barisan cabai-cabai itu, juga ada barisan tumbuhan-tumbuhan lainnya. Ada kentang, ubi jalar, dan yang paling ujung kedelai. Semuanya sama-sama ditanam memanjang seperti barisan cabai. Dan juga terlihat sangat subur.

"Wah... Buah cabainya besar-besar sekali!" seru Leony yang berada di barisan antara Niki dan Nesya. Tangannya lincah memetiki cabai-cabai itu tanpa henti. Tak satu pun yang terlewatkan, semuanya masuk ke dalam keranjang.

"Iya, benar! Bahkan di tempat tinggal kami, di masa depan, belum pernah aku menjumpai buah cabai yang sebesar ini" Nesya ikut berceletuk. Ia sama antusiasnya dengan Leony.

"Ini mungkin karna semua tumbuhan yang ada di sini tumbuh di lingkungan yang asri dan masih sangat alami. Tidak tercemar oleh bahan kimia apapun. Semuanya tumbuh dan terbentuk dengan semestinya tanpa campur tangan manusia. Makanya setiap tumbuhan yang kita temui selalu subur dan menghasilkan buah yang jauh lebih bagus kualitasnya dari yang biasa kita makan. Begitu juga dengan hewan-hewannya. Besar-besar dan gemuk-gemuk. Seperti ikan sungai misalnya,  ikan-ikannya banyak karna air sungainya bersih. Kita tidak perlu takut ikan-ikan itu akan musnah. Selagi sungainya masih terjaga" jelas Cornia. Mereka yang mendengarkan mengangguk takzim.

"Kak Cornia benar. Semua tumbuhan di ladang ini bahkan kami beri pupuk alami. Pupuk kandang" sahut Niki menambahkan. Tangannya cekatan memetiki buah cabai. Bahkan keranjangnya sudah hampir penuh. Ia sudah memetiki setengah dari barisan cabainya. Jelas sekali bahwa ia sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini.


Setengah jam kemudian, belasan keranjang cabai sudah tertumpuk di atas bentangan tikar pandan yang digelar oleh Niki di depan pondok. Mereka berlima duduk berselonjor menjeplak di tanah. Mengibas-ngibaskan topi anyaman. Meski mudah, memetik buah cabai sebanyak itu juga lumayan melelahkan.

Niki bangun dari duduknya, menaiki tangga pondok untuk mengambil bungkusan makanan dan tabung air. Ia sengaja membawa banyak makanan untuk mengganjal lapar hingga jadwal makan siang. Ia tampak tidak lelah sama sekali. Hanya gerah karena udara yang mulai panas. Fisiknya mungkin jauh lebih tangguh dari enam bersahabat itu meski ia masih sangat muda.

Virga dan Gemi muncul dari pintu pondok. Menguap lebar dengan rambut acak-acakan. Wajahnya kusut khas bangun tidur. Melihat teman-temannya beristirahat di bawah, mereka pun menuruni tangga menghampiri sekaligus membantu Niki membawa tabung air dan makanan.

"Sudah bangun ternyata" celetuk Nesya melihat kedua temannya itu duduk di sebelahnya.

"Wah.. Cabainya banyak sekali" ucap Virga membulatkan mata menatap tumpukan cabai.

"Tentu dong, kan kami berlima yang petik" jawab Cesya bangga.

"Kalian sih.. Kerjaanya tidur saja. Jadi ketinggalan kan? Padahal tadi seru sekali" Cesya mencomot sebungkus lemper dan membukanya.

"Kami kan ketiduran karna kelelahan.." ucap Gemi, ikut mengambil sebuah goreng ubi yang sudah dingin.

"Kami juga lelah tau!" kali ini Nesya ikut menimpali.

"Iya iya.. Maaf.." jawab Virga tersenyum memelas.

Mereka melanjutkan makan dengan tenang hingga makanan tandas.

Fighting dreamersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang