8. Ya, Aku Ingat!

268 22 5
                                    

Kenapa kau seperti cuaca? Berubah dengan tak tentu.

—•°•—
.
.
.

Keheningan di gedung tidak terpakai berhasil membangunkan seseorang dari dunia mimpi. Padahal suara kokokan belum terdengar.

Sosok itu duduk seraya me-refresh pikiran. Sesekali dia menggaruk tubuhnya yang tidak gatal. Kesadaran sudah terkumpul seutuhnya. Namun, netra sang gadis, dikejutkan dengan secercah cahaya dari ruangan yang temaram. Tanpa berpikir panjang, Mikha mendekati si objek.

Dia cukup dikejutkan dengan keberadaan seorang anak kecil yang sedang duduk membelakanginya. Tangan kanan sang bocah, sibuk memegang senter kecil. "Lo ngapain di situ?"

Sosok itu tersentak ketika mendengar si pembicara. Dengan cepat dia berbalik, sedangkan tangan kirinya dia sembunyikan di balik punggung. "Gak ngapain-ngapain kok, Kak," ujarnya tersenyum renyah.

Mikha menatap bocah itu dengan teliti. Sangat jelas terlihat raut kecemasan pada wajah gadis kecil itu. Namun, sayangnya Mikha bukanlah orang yang dapat dibodohi dengan alasan kelas teri. "Via, lo pikir gue bego!" ketusnya sembari merampas barang yang ada di balik punggung gadis kecil bernama Via.

Via sangat terkejut menerima perlakuan itu. Mata sipit seketika membulat lebar. Namun apalah daya, dia tidak memiliki keberanian untuk mengambil barang berharga miliknya. Sehingga dia hanya bisa diam, dan pasrah. Merampas benda itu dari tangan Mikha pun tidak ada gunanya.

"Lo dapat ini dari mana ini benda?" Mikha mempertegas benda yang ada di tanganya.

Via merapatkan bibir.

"Jangan bilang lo nyuri?"

Dengan cepat gadis kecil itu menggeleng. "Enggak kok, Kak. Buku itu di kasih sama om-om yang jual buku di perempatan jalan sana," terangnya dengan ekspresi setengah takut.

Tidak seperti yang dia bayangkan, Mikha hanya membulatkan bibir.

Mikha membolak-balik buku yang baru saja dia rampas, sembari manggut-manggut. Namun, ekspresi itu tidak bertahan lama. Mikha langsung menautkan alis. "Emang lo bisa baca? Siapa yang ngajarin lo?"

"Om yang kasih buku itu."

"Lo gak maksa dia buat ngajarin lo, kan?" tanyanya mengingat sifat yang dimiliki oleh anak kecil tersebut.

Dengan cepat Via menggeleng. "Enggak kok, Kak. Om itu dengan sabar ngajarin Via. Katanya sayang kalau anak muda bangsa seperti kita, tidak berpendidikan. Kalau seperti ini terus kapan negara ini maju," ujarnya mengulang kalimat yang pernah dilontarkan pria itu.

"Om itu juga cerita, katanya dia sedih, karena buku jualannya kagak laku. Katanya, anak muda sekarang, minat baca buku sangat minim. Kebanyakan tunduk sama .... Apa itu, Kak, yang bendanya kotak tapi bisa keluarin suara sama gambar?"

"Handphone," jawab Mikha yang langsung mengerti maksud si gadis kecil.

"Nah itu! Habis itu katanya kebanyakan dari kita hanya mau menjadi konsumen teknologi tanpa mau menjadi produsennya. Terus lama-lama kita jadi budak teknologi. Istilahnya ... manusia itu robot teknologi." Gadis kecil itu memeluk kedua lututnya.

"Membayangkannya aja ngeri. Via gak mau jadi budak," ujarnya bergidik ngeri. Tanpa sadar, bahwa sekarang dirinya juga terlihat seperti budak.

Melihat ekspresi bocah itu, membuat Mikha terkekeh pelan. "Tumbenan lo bisa ngomong kayak gini. Biasanya hanya bisa merengut doang."

"Negara kita ini dari dulu sampai sekarang emang sudah jadi budak. Tapi bedanya, kalau dulu budak dari penjajah. Sekarang budak dari teknologi," lanjutnya menambah ucapan gadis kecil itu.

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang