—•°•—
.
.
."Dalam rangka apa kau ingin bertemu denganku?" Kini mereka berada di kediaman lelaki itu.
Mikha mengedarkan mata--mengecek sekeliling. Sebelum fokusnya beralih pada lelaki yang menjadi lawan bicara. Tidak lupa dia menelan paksa saliva.
"Gue bisa pinjam duit lo gak?" ucapnya dengan sangat, sangat, pelan--seperti takut ada orang lain yang mendengar.
Morger berusaha menahan tawa oleh karena kalimat itu. "Pinjam uang? Pantas saja kau terlihat baik padaku."
Mikha semakin kuat menautkan jari-jari tangan. "Gue serius. Gue benar-benar butuh bantuan lo." Sepertinya sekarang bukan waktunya untuk bercanda.
"Lalu, uang itu mau kau apakan?"
"Hmm …," Mikha sedikit ragu mengatakannya, "buat beli baju pernikahan."
Bhak!
Morger langsung tersedak dengan minuman yang sempat ia minum. Pernikahan? Apa perempuan itu sedang bercanda?
"Kau ingin menikah dengan siapa? Memangnya ada orang yang mau menikah dengan monster sepertimu?" Terdengar menghina, tetapi itu tujuan Morger. Menguji kesabarannya.
Namun, di luar dugaan, dia hanya menyanggah tanpa adanya emosi. "Bukan. Bukan itu maksud gue."
"Gue butuh baju buat ngehadirin pernikahan teman gue."
Kalimat itu dibalas dengan anggukan tanda mengerti. Morger juga melipat kedua tangan di depan dada.
"Boleh."
Sangat singkat, tetapi kata itu berhasil menampakkan deretan gigi putih dari Mikha.
"Tapi dengan satu syarat."
Senyuman itu seketika sirna, dan beralih dengan tanda tanya besar. "Apa?"
Morger menyunggingkan sudut bibirnya, dan menatap Mikha dengan penuh kemenangan.
"Aku ikut bersamamu."
"HA!" Mikha bangkit berdiri tidak percaya.
"Lo gak bercanda, 'kan? Untuk apa lo jadi pasangan gue? Entar banyak orang yang berpikir kalau lo itu pacar gue. Atau suami gue?"
"Tidak usah berekspektasi berlebihan. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu."
"Jadi, untuk apa lo ikut gue? Mau nyoba makanan kondangan?" cercanya seraya perlahan duduk.Lelaki itu menggeleng. "Aku hanya ingin mengisi waktu luang."
Mikha berpikir keras. Dia mencoba untuk mencari alasan, supaya Morger menghilangkan syarat itu. Hitungan tiga detik, suara jentikkan jari menyusul. "Lo gak bisa ikut. Nama lo gak ada diundang. Jadi, lo gak bisa ikut dong."
Morger bangkit berdiri, dan hendak pergi. "Kalau begitu, lupakan saja perjanjian kita."
"Tunggu!" Mikha menarik tangan lelaki itu, seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Baiklah, lo boleh ikut."
***
Seorang perempuan menatap aneh yang ada di hadapannya. Bola matanya bergantian menatap kedua insan itu. Matahari pagi berhasil membuat sebuah kejutan padanya."Kalian berdua ngapain ke sini?"
"Aku datang ke sini, untuk memulai perjanjian kita," ucap seorang lelaki dengan sebuah tongkat di tangan.
"Perjanjian? Seharusnya lo gak usah repot-repot datang ke sini. Lo cukup ngirim uangnya ke gue. Tanpa perlu membawa dia." Mikha beralih menatap sinis perempuan yang ada di sebelah lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Fiksi Remaja[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...