12. Itu Hanya Sebuah Mitos

199 21 10
                                    

Kau pernah merasakan roller coaster? Seperti itulah yang sedang aku rasakan.

—•°•—
.
.
.

"Lo selalu bawa sapu tangan setiap ke mana-mana?" Ya, pertanyaan itu timbul ketika lawan bicaranya mengeluarkan sapu tangan dari saku baju.

"Tanganku selalu lembap. Jadi, aku harus selalu membawa benda ini."

Mikha hanya diam, dan memperhatikan pergerakan si lelaki. Jujur, hanya itu yang bisa dilakukan sembari menunggu mobil yang mereka tumpangi sampai ke tujuan.

Seketika dia tersenyum penuh maksud.

"Lo pernah dengar mitos tentang jodoh berdasarkan garis tangan gak?"

Morger mencoba untuk berpikir. "Pernah, tapi aku tidak tahu pasti. Memangnya ada apa?"

"Biar gue kasih tahu. Jadi, apabila telapak tangan lo didekatkan sama lawan jenis lo, terus garis tanganya berhubungan ... berarti lo jodoh sama dia. Begitupun sebaliknya."

"Mau nyoba sama gue?" sambungnya seraya mengambil tangan lelaki itu. Tanpa perlu aba-aba dia melakukan sesuai mitos tersebut.

"Bagaimana?"

"Kita emang bukan jodoh. Pantas aja gue selalu ngehindar dari lo," terang Mikha sembari melepas genggamannya.

Namun, Morger menarik tangan perempuan itu, dan melakukan hal yang Mikha praktikkan tadi. Dia meraba tangannya, dan bergeser sampai ke telapak tangan si gadis.

"Kau berbohong."

Seketika Mikha tertawa lepas. Dia memegangi perutnya yang mulai sakit akibat tawa. Sampai-sampai, mulutnya tidak sanggup sekadar mengucapkan kata.

"Ada yang lucu?"

Mikha menghapus air matanya. "Lo ternyata bego amat ya. Mau aja gue tipu. Mitos yang tadi, hanya bualan gue aja tahu!" Tawaan menyusul kalimatnya.

"Kalau ternyata itu benar. Kau harus berani mempertanggung jawabkannya." Ucapan Morger, berhasil membuat Mikha bungkam. Entah kenapa dia merasa sedikit bergidik ngeri mendengarnya.

"Gue, kan, cuma bercanda doang. Gak usah dibawa serius juga kali. Lo gak ada selera humor sama sekali."

Alih-alih Morger malah tertawa. Membuat Mikha menautkan kedua alis.

"Kau kenapa jadi terlihat takut dengan ucapanku? Aku hanya bercanda!"

Hukuman telah Mikha terima, membuat dia berpaling muka dari lelaki itu. Hingga ban mobil berhenti pada sebuah bangunan.

"Makasih buat tumpangannya," ucapnya hendak keluar dari mobil itu. Namun, Morger lebih dulu menahannya.

"Kenapa?"

Lelaki itu mengulurkan tangan, dan memperlihatkan telapak tangannya.

"Lo masih mau diramal lagi?"

"Tidak. Aku meminta bayaran atas jasa tumpangan. Kau pikir aku mengantarmu secara gratis?"

Mikha memperlihatkan kantong yang semuanya ternyata kosong. "Gue gak ada uang sama sekali. Lagian lo jadi cowok pelit amat, sih."

"Aku memang pelit, kau baru tahu? Kalau kau tidak punya uang, kau bisa menggantinya dengan sesuatu yang lebih berharga."

"Berharga …?" Mikha memegang dagu, berusaha mencari imbalan yang cocok.

Tidak perlu menunggu lama, dia menjentikkan jari. "Gue tahu!"

"Apa itu?"

"Gue adalah mata lo."

Morger tertawa ringan mendengar ucapan polos perempuan itu.

"Buktikan. Apakah kau bisa melihat isi hatiku?"

Perempuan itu malah menatap lekat tubuh si lelaki. Seperti mencari tahu sesuatu.

"Gue?"

Morger terdiam, dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Lo kenapa? Tebakkan gue salah ya? Lagian pertanyaan lo absurd banget. Lo pikir gue Dewi." Mikha keluar dari mobil.

"Bye," ucap gadis itu sebelum memasuki gedung tempat tinggalnya.

Mikha mengedarkan pandangnya.

Deon ada di mana ya?

Dia pun mencari ke tempat yang mungkin lelaki itu biasa kunjungi. Namun, hasilnya nihil. Dia berkacak pinggang.

Sebuah kepala dari belakang tiba-tiba mendarat tepat di bahunya. Membuat Mikha tersenyum.

"Mikha …." Siapa lagi kalau bukan Deon si pemilik suara.

"Lo habis dari ma--"

"Tolong dengarkan gue," ucap Deon berhasil memangkas kalimat perempuan itu--masih dalam posisi yang sama.

Mikha memilih diam, dan mengikuti perintah si lelaki.

"Lo percaya sama gue, kan? Apa pun kondisinya."

Mikha mengangguk pelan.

"Jaga diri lo baik-baik ya."

Mikha menggeleng bingung. "Maksud lo apa?"

"Gue pamit." Seketika tubuh lelaki itu meringsut. Membuat Mikha langsung berbalik. Bagai disambar petir, kedua matanya seketika membulat lebar.

"Deon, lo kenapa!" ucapnya berusaha menopang tubuh lelaki itu.

Deon memegang perutnya yang telah berlumuran darah, tanpa memedulikan darah yang keluar dari kepalanya.

"Siapa yang lakuin lo kayak gini! Jelasin sama gue, Yon!"

Lelaki itu terkekeh, dengan ekspresi berusaha menahan rasa sakit. "Geng sebelah … lo tahu … sendiri … 'kan …."

Dia berusaha mengatur deru napas yang tak beraturan. "Gue … gak sekuat … lo."

"Enggak, lo harus selamat!" Mikha berusaha memapah lelaki itu.

"Lo gak bisa ninggalin gue sendirian!" Dia mengerahkan segala tenaganya.

"Mikha …." Sebuah suara yang berbeda menghampiri mereka.

"Morger," ucap Deon dengan napas yang tersisa.

Tanpa aba-aba, Morger membantu gadis itu.

Tolong …

—•°•—
.
.
.
.

TBC

Sorry ya, aku publish ulang. Soalnya baru nyadar kalau cerita yang aku publish kemarin kepotong T_T

Padahal di draft masih lengkap ~T_T~

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang