_____________________________________
Seiring angin bertiup, aku ingin memberitahu bahwa cinta ini nyata.
_______________________»☆«
Dentingan piano, bermain mengisi ruangan. Membiarkan siapapun untuk dapat mendengarnya. Namun, ....
Permainan itu tidak sesuai dengan melodi. Lebih tepatnya, bermain asal. Bahkan dapat mengundang emosi bagi siapa saja yang mendengar. Sama hal si pemilik benda. Dengan langkah yang cepat, ia berusaha mendekati sumber suara. Bagaimanapun juga, tindakkan tersebut dapat merusak piano kesayangannya.
"Morger!" Seorang perempuan mendongak dan melemparkan senyuman lebar ketika si pemiliki nama menginjakkan tempat tersebut. Bahkan jari-jarinya masih menempel pada tuts piano.
"Paman! Kenapa, Paman, membiarkan orang lain merusak pianoku tanpa izin?" ketus Morger seraya menghampiri seorang pria yang berdiri tidak jauh dari perempuan itu.
"Hey, aku hanya ingin bermain. Bukan merusak." Mikha pun tidak kalah ketusnya dengan si lelaki.
Pria itu hanya tersenyum tenang, sangat tenang. "Sudahlah, ini hanya perkara kecil yang tidak perlu dibesarkan." Pria itu yakin, kalau sekarang dua insan tersebut, sedang mengerucutkankan bibir.
"Perempuan ini jauh-jauh datang ke sini, hanya untuk mendengarmu bermain piano. Katanya dia sudah tahu banyak tentangmu. Jadi, paman mengizinkannya," terang si pria. Namun, tidak ada tanggapan dari lawan bicaranya.
"Kalau begitu, paman izin untuk keluar."
Setelah melihat kepergian pria itu, Mikha beralih ke arah lelaki yang sibuk melakukan aktivitasnya.
"Kau untuk apa ke sini?"
"Kau tidak mendengarkan kata, Paman, tadi?"
Morger memilih duduk di sofa. "Aku lagi malas untuk bermain piano."
Mikha menekuk wajah. "Kalau begitu, aku lebih baik pulang."
"Pulanglah," balas Morger tanpa rasa iba.
Mikha membuang muka seraya berjalan dan menghentakkan kaki. Setiap langkah, dia berharap si lelaki menyebut namanya. Ketika dia sudah mendekati pintu, Mikha menghentikan langkahnya.
Dia tidak berniat mengehentikanku? batinnya sembari menengok ke arah si lelaki. Namun, Mikha masih memiliki harga diri, dia pun langsung membuka pintu.
"Mikha!" panggil Morger berhasil menghentikan pergerakan perempuan itu.
Mendengar namanya dipanggil, Mikha tersenyum dengan sangat lebar. Dugaannya benar, kalau lelaki itu tidak mungkin membiarkannya begitu saja.
"Iya?" tanya Mikha dengan suara yang lebih bersahabat.
"Jangan lupa menutup pintunya kembali," ujar Morger yang hendak menaiki anak tangga.
Sontak Mikha semakin kesal. Dia pun semakin ganas menghentak kaki.
"Mikha?" Ini bukan suara Morger. Seorang wanita memastikan bahwa dugaannya tidak salah.
"Tan ... te?" Mikha sangat terpukau dengan tampilan wanita yang ada di hadapannya. Dia sampai bingung mendeskripsikan setiap detail dari tampilan si wanita. Namun, yang pasti wanita itu terlihat seperti Nona Belanda pada masa kolonial--dengan versi lebih mewah.
"Mau ke mana?" tanya wanita itu sembari berjalan mendekatinya.
"Mau pulang, Tan."
"Kok pulang? Bukannya kamu baru datang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Novela Juvenil[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...