13. Maaf, Aku Tidak Terima

174 24 4
                                    

Terkadang seorang perempuan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, sebenarnya di dalam hati, dia menyimpan seribu belati

—•°•—
.
.
.

Seseorang duduk dengan pandangan kosong. Bahkan lelaki di sebelahnya yakin, kalau perempuan itu enggan sekadar berkedip. Tidak ada satu pun suara yang keluar dari mulut gadis itu sejak tadi. Namun, yang pasti, rahangnya mengeras sejak ia menginjakkan tempat itu.

Sebuah tangan menyentuh bahu perempuan itu.

"Mikha …."

Si pemilik nama menoleh ke arahnya. "Ada apa?"

Entah kenapa, seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan lelaki itu. Jujur, dia bingung harus berkata apa. Bertanya apakah perempuan itu baik-baik saja? Itu tidak mungkin. Tidak ada hati yang baik setelah dirusak. Bahkan meyakinkan Mikha bahwa semuanya akan baik-baik saja, tidak dapat ia lakukan, di saat dirinya sendiri juga ragu akan hal itu.

Perang batin itu tidak bertahan lama, ketika Mikha menjauhkan tangan Morger dari bahunya.

Dia tersenyum.

"Jangan natap gue sedih kayak gitu. Gue gak apa-apa kok."

Mikha melirik sebuah pintu yang menjadi sumber jawaban mereka.

Dia bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekati pintu. Mengecek kondisi ruangan dari balik pintu. Namun, nihil. Dia sangat sukar menangkap si objek.

Ekpresi yang sejak tadi dipertahankan, seketika runtuh. Dia terkulai lemas. Bohong kalau sekarang dia tidak cemas. Waktu terasa cepat berputar. Pagi tadi, Deon mengejeknya, tetapi mengapa sekarang dia berada di tempat seperti ini?

Bak mengangkat beban berton-ton, tubuhnya seketika merosot lemah.

Deon, lo harus bertahan demi gue ….

Tidak boleh ada lagi yang menghilang. Berapa banyak lagi sayatan di hatinya harus ditorehkan?

Cukup.

Dia tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi. Sudah cukup mereka yang telah pergi meninggalkannya.

Namun, air mata tidak sedikitpun muncul darinya. Dia yakin Deon bisa bertahan. Tidak ada yang perlu ditangisi.

Ya, hanya itu yang dapat ia tanam dalam benaknya.

Hingga daun pintu itu terbuka. Dengan deretan gigi putih, ia menghampiri pria berbaju putih--berharap kabar baik berpihak padanya. Namun, ….

Harapan berhasil membuang kepercayaannya.

Pria yang berpakaian putih hanya menggeleng pelan. "Maaf, kami sudah berusaha sebisa kami, tapi--"

Tidak percaya, dengan cepat Mikha berlari menembus ruangan itu. Namun, seketika dia bungkam, dengan langkah yang perlahan berhenti.

Bagai diremuk dengan baja. Jantungnya seketika berhenti berdetak. Waktu seperti berhenti, seolah-olah berkata, "Terimalah kenyataan."

Sebuah kain putih baru saja menutupi tubuh lelaki itu.

Beban yang yang sejak tadi dia topang, kini berhasil membuatnya jatuh ke titik terdalam. Dengan bibir yang bergetar, Mikha berusaha mengucapkan sepatah kata.

"Deon, lo jangan bercanda."

Dia tidak mendekati tempat lelaki itu terbaring. Lelaki yang bahkan tidak dapat mengabulkan permintaannya.Namum, entah kenapa, sebulir air mata pun tidak muncul darinya.

Kesedihan, tanpa air mata. Seperti ada seseorang yang membisikkannya untuk tidak menangis.

Mikha tersenyum getir. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat. Ucapan Deon terulang kembali dalam pikirannya.

"Gue gak sekuat lo, Mik. Jadi, wajar gue kayak gini."

"Iya, lo emang lemah."

Dia memejamkan mata, sebelum berjalan menghampiri lelaki yang ada di dekatnya.

"Gue haus, mau beli minum," ucapnya pada Morger, sebelum pergi meninggalkan tempat itu.

Morger hanya diam menatap kepergian perempuan itu.

Aku janji, aku akan menepatinya.

—•°•—
.
.
.

TBC

Akhirnya aku bisa up, setelah bolos satu minggu yang lalu.

Eh, bukan bolos, tapi izin.


MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang