Kita sebagai umat manusia, harus hidup salingan bergandengan. Namun, kenapa sampai sekarang aku belum menemukan gandenganku?
—•°•—
.
.
.Seorang perempuan merangkak di kolong. Tangannya berusaha meraih sebuah toples. Ketika dia berhasil menyentuh benda itu, dengan cekat dia menariknya keluar.
Sebuah deretan gigi putih dia tampakkan ketika melihat isi toples tersebut. Tidak hanya itu, bahkan dia memasukkan selambar uang yang telah ia sediakan. Dengan mata berbinar dia melihat hasil usah kerasnya. Dan hal itu membuatnya teringat akan masa lalu.
"Dalam rangka apa lo nabung?"
Mikha menghela napas panjang. Matanya tidak lepas dari toples yang ia genggam.
Maaf, gue terlambat bilang ini ke lo. Mungkin terlihat aneh buat orang seperti gue. Tapi lo pernah dengar, kan, bahwa gue gak mau ada Mikha yang kedua?
Gue mau nyekolahin, Via. Supaya anak pintar seperti dia, gak ketularan bego kayak gue, monolognya dalam hati seolah-olah sosok itu telah hadir.
"Mik, ada yang mau ketemu sama lo." Sebuah suara berhasil memecahkan lamunan gadis itu.
Mikha dengan pelan, tetapi pasti, menyembunyikan toples tadi. Dan kembali melirik perempuan yang sepantaran dengannya.
"Bilang ke dia, gue lagi gak mau bertemu siapa-siapa."
"Tapi …." Perempuan itu sengaja menahan kalimatnya, ketika menyadari seseorang memegang bahunya.
"Sombong amat jadi orang." Sosok yang baru saja hadir, berhasil mengejutkan Mikha. "Lo gak kangen sama gue?"
Sontak raut wajah beralih menjadi tersenyum--sebenarnya dia berusaha menahan tawa. "Ternyata lo, Ra. Gue sampai gak kenal, karena tampilan lo yang kayak gitu."
Mikha bangkit berdiri seraya menatap wanita dengan dress berwarna biru laut dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Ternyata lo bisa cantik juga. Oplas di mana?" Dia tidak percaya, wanita yang telah menyerahkan tanggung jawab wilayah ini kepadanya, berubah menjadi wanita feminin dan dewasa.
Wanita itu dengan ringan tangan melayangkan sebuah pukulan pada Mikha. "Enak aja lo bilang gue oplas. Harusnya gue yang tanya ke lo. Muka burik kayak lo kapan berevolusi?"
Mikha hanya memutar kedua bola mata. Jujur, dia paling benci berurusan dengan wanita ini. "Jadi, lo mau ngapain ke sini? Kalau mau reunian, gue lagi sibuk."
Tidak langsung menjawab, wanita itu malah merangkul sosok pria yang sejak tadi bersamanya. "Lo gak mau tanya siapa cowok yang datang bareng gue?"
Pria itu hanya tersenyum ketika Mikha melayangkan tatapan ketus.
"Siapa dia?" Akhirnya kalimat itu ia layangkan.
Ra menatap pria di sebelahnya. Seolah-olah memberi isyarat untuk memperkenalkan diri.
"Perkenalkan, nama saya Rangga. Calon suami, Ra."
Sontak Mikha tersedak dengan air ludahnya sendiri, sampai terbatuk. Dia benar-benar tidak percaya. Seorang wanita yang merupakan mantan preman, berhasil menangkap hati pria tampan.
"Kalian berdua serius mau menikah?" Mikha menatap mereka secara bergantian.
Ra tersenyum, sebelum mengambil sesuatu dari tasnya. Dia pun memberikan sebuah benda pada gadis itu. "Ini undangan pernikahan kami. Tujuan gue ke sini, mau nganterin ini. Gue harap lo datang ke pernikahan kami."
Mikha menganga melihat benda yang kini ada di tangannya. Sebuah kartu undangan. Dan di kertas itu tertera jelas nama mereka berdua.
"Karena banyak yang harus kami persiapkan. Jadi, kami gak bisa berlama-lama di sini." Ra melirik pasanganya.
"Iya. Kami pamit pulang." Kini pria itu yang berucap.
Mikha hanya mengangguk.
"Oh, iya. Nanti diacara pesta, lo jangan lupa nunjukin pasangan lo ya …," ujar Ra sebelum menghilang dari pandangan gadis itu.
Ini tidak bisa dibiarkan! Gue harus ketemu Morger!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Teen Fiction[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...