7. Mengenal Masa Lalu

278 24 10
                                    

Sikapmu yang seperti itu, membuatku belajar untuk mengenalimu lebih dalam.

—•°•—
.
.
.

Sebuah tongkat sejak tadi menjadi tumpuan seorang lelaki, sekaligus menjadi saksi atas apa yang terlihat. Lelaki yang berdiri tidak jauh dari warung makan, hanya bisa terdiam. Entah apa tujuannya sekarang.

Dia pun memperbaiki posisi tongkat, sebelum membuang kasar karbon dioksida dari mulutnya. Kini dia memberanikan diri untuk melangkah--setelah berperang batin. Dia meraba setiap jalan dengan tongkat. Entah ini adalah keputusan yang benar atau pun ... salah?

"Hai!" Morger berdiri tepat di sebelah seorang gadis. Senyuman yang tidak luntur, dia berikan.

Namun, bukannya terkejut, si perempuan hanya tersenyum hambar dan kemudian pergi melewatinya.

"Bang, kerjaan gue udah selesai. Jadi, gue pamit pulang dulu," ujar Mikha sembari melemparkan sehelai kain pada pria itu.

Dengan refleks Bang Jego menangkap kain tersebut. Ekor matanya kini hanya bisa melihat kepergian perempuan tomboi itu. Setelah jeda beberapa detik, dia pun menghela napas panjang.

Dia beralih pada kursi yang tidak jauh darinya. "Duduklah," perintahnya pada lelaki yang hanya bergeming.

Morger pun hanya bisa mengekorinya.

"Lo lihat sendiri, kan, dia orangnya kayak mana." Bohong, jika pria itu tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka.

"Jadi, lebih baik lo berhenti berurusan dengan dia," lanjutnya.

Morger hanya tersenyum tipis. "Aku memang berniat seperti itu."

Bang Jego yang baru saja menuangkan air putih, langsung menyuguhkannya pada si lelaki. "Terus ngapain lo masih ngikutin dia?"

"Itu karena aku masih berharap, kalau yang terjadi waktu itu hanya sebuah candaan." Ucapnya terdengar santai. Namun, tidak dengan raut wajah yang dia berikan.

Mengerti dengan suasana yang terjadi, Bang Jego pun menepuk pelan bahu Morger. "Ada satu hal yang perlu lo tahu ...," ucapnya menggantung. Sedangkan lawan bicaranya hanya diam seraya menoleh--menunggu kelanjutan dari kalimat itu.

"Walaupun Mikha terlihat antagonis, bukan berarti dia benar-benar benci sama lo. Dia seperti itu bukan karena sok kuat atau tidak perlu bantu orang lain. Tapi, dia seperti itu karena ... takut."

Sontak air muka Morger berubah. "Takut?" tanyanya sedikit tidak percaya. Sedangkan pria yang ada di sebelahnya, hanya mengembus napas panjang. Seperti ada sesuatu mengganjal pada dirinya sejak lama.

"Dia dibuang ke panti asuhan ketika masih bayi. Tidak tahu alasan apa yang membuat orang tuanya berbuat demikian. Namun, karena itu, Mikha selalu beranggapan bahwa dia adalah beban bagi mereka. Akhirnya, dia tumbuh menjadi sosok yang mandiri, dan tidak mau menjadi beban buat orang lain."

Pria bertubuh kekar itu, melirik ke arah Morger yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Itu alasan dia marah sama lo. Dia takut ... takut menjadi beban buat lo," lanjut si pria. "Jadi, gue minta tolong. Jangan sampai lo benci sama dia."

Morger tersenyum lembut. "Aku tidak akan membencinya. Itu hanya akan meregangkan jarak di antara kami."

***

Cahaya senja mewarnai langit biru, membisikkan sang penghuni Bumi, bahwa dia akan pergi. Membiarkan burung-burung terbang bebas. Indahnya senja tidak dapat didustakan lagi.

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang