Tolong ...
Jangan ada yang menjadi diriku yang kedua.-•°•-
.
.
.Di bawah rindangnya pohon, terlihat seorang lelaki yang bertopang pada sebuah tongkat. Lelaki itu menunggu pembuktian dari seorang perempuan yang berhasil membawa ia ke tempat tersebut.
"Angelnya ada di mana?" Mungkin ini ketiga kalinya dia bertanya demikian.
Dengan sedikit ragu, Mikha mendekati lelaki berambut hitam. Tidak lupa senyuman lebar tetap dia tampakkan. "Jadi, gini ...," ucapnya sedikit ragu.
"Dia gak ada di sini ... Tapi!"
"Bukan berarti gue bohong sama lo. Selama ini dia tinggal di sini. Tapi, tadi kata salah satu anak buah gue, katanya dia gak pulang dari kemarin." Mikha terlihat enggan sekadar menatap lelaki itu.
Jujur dia sedikit takut, dengan reaksi Morger setelahya.
"Maksudmu apa?"
"Gue, kan, udah bilang sama lo ka--" ucapannya seketika terpangkas, ketika Morger memberi isyarat untuk diam.
Ekspresi Morger menyuruhnya untuk berbalik.
"ANGEL!"
Dari kejauhan, tampak seorang anak kecil, dengan penuh derai air mata. Ya, dia adalah orang yang mereka cari.
Mikha langsung menghampirinya. Namun, bukannya rasa senang yang ia tampakkan.
"Kak, to ... long ...," lirihnya sebelum tubuhnya terjatuh.
"Lo kenapa bisa kayak gini!"
Tanpa menerima jawaban, Morger lebih dulu menggendong si gadis kecil itu.
"Kita tidak ada waktu," ujar Morger mengambil langkah cepat.
***
Dari ujung koridor, seorang wanita berjalan dengan irama yang sangat cepat. Sedangkan tangannya, sibuk memasukkan barang ke dalam tas.
Plak!
Sebuah tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Mikha.
"JADI, SELAMA INI KAMU YANG CULIK ANAK SAYA!" Mata memerah. Embus napas yang memburu, ia layangkan pada perempuan itu.
Mikha memegang rasa sakit pada pipinya. Dia menggertakkan gigi.
"DASAR KAMU!" wanita itu hendak melayangkan tamparan kedua. Namun, Morger lebih dulu menahannya.
"Maaf, tapi kita bisa menyelesaikan dengan cara tenang."
Wanita itu terdiam. Dia berusaha untuk menetralkan deru napasnya.
"Mikha, bukanlah pelaku."
"Lalu, kalau bukan dia, siapa lagi?" Tanpa sadar, kini tangis wanita itu mulai pecah.
"Mikha hanya menampung Angel. Namun, yang terjadi sekarang, bukan atas dasar kehendaknya."
Seketika wanita itu tertunduk. Kakinya kini terasa seperti jely, dan itu berhasil membuat ia tersungkur. Dia bingung harus berbuat apa.
"Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari bibir merahnya. Tenaga telah habis oleh air mata.
Tidak perlu berlama-lama dalam kondisi seperti itu. Seorang pria dengan pakai serba putih, muncul dari balik pintu.
Sontak wanita itu bangkit berdiri--entah energi dari mana yang dia terima. "Pak, bagaimana kondisi anak saya, Pak?"
"Apakah Anda dari keluarga bersangkutan?" tanya si pria.
"Iya, saya ibunya."
Pria berbaju putih itu, mengembus napas panjang. Dia berusaha untuk setenang mungkin. "Anak Anda dalam kondisi yang sangat buruk. Dia harus segera dioperasi. Beberapa organ pencernaannya rusak, akibat perlakuan yang diterima."
"APA, DOK! ANAK SAYA KENAPA BISA BEGITU?" Tangis pecah semakin menjadi. Tangannya meraih kerah si pria, dan mencengkeram dengan sangat kuat.
"Maaf, dari kondisi yang kami lihat. Sepertinya anak Anda telah diperkosa."
Wanita itu melepaskan cengkeramannya. Dia tidak tahu harus berbicara apa. Bahkan setelah kepergian sang dokter pun, dia masih bergeming. Pandangan terlihat kosong.
Tidak ada di antara mereka yang berani untuk mengucapkan sepatah kata.
Plak!
Lagi, dan lagi. Sebuah tamparan berhasil mendarat pada pipi Mikha.
"KARENA KAMU! ANAK SAYA SEPERTI INI. SEANDAINYA KAMU MEMBERITAHU KE SAYA LEBIH CEPAT, PASTI SEMUA INI TIDAK AKAN TERJADI!" Suara yang diciptakan wanita itu, berhasil mengundang petugas keamanan.
Petugas tersebut berusaha untuk menenangkannya. Namun, wanita itu malah semakin menjadi. Hingga akhirnya, mereka menarik dia dengan paksa.
"AWAS KAMU! SAYA BAWA KAMU KE JALUR HUKUM!" teriak wanita itu sembari meronta-ronta.
Namun, tidak ada respons yang Mikha berikan. Dia bergeming dengan pandangan kosong. Hal yang tidak pernah terjadi padanya.
"Hai, Gadis Cantik." Ucapan itu terus mengiringi setiap langkah gadis berparas cantik itu. Matanya sangat enggan sekadar melirik ke belakang. Namun, semakin cepat dia mengubah irama langkahnya, semakin dekat pula suara itu terdengar.
Banyak doa yang ia lontarkan dalam hati. Jantungnya semakin berpacu cepat. Wajah pucat, keringat dingin yang tidak berhenti membasahi tubuh, menambah suasana menjadi meneggangkan.
"Berhenti dong main kejar-kejarannya." Sebuah tangan besar berhasil mencekalnya.
"Main sama kami, yuk!"
Mikha tersadar. Sebuah tangan menggenggamnya dengan sangat erat. Entah kekuatan apa yang dimiliki si pemilik. Namun, hal itu berhasil membuat dia merasakan ketenangan.
"Kau tidak apa-apa?"
Mikha menatap lelaki itu, berharap dia bisa mengertilah arti tatapannya.
"Morger, aku takut ...."
-•°•-
.
.
.
.TBC
Akhirnya bisa up sesuai jadwal T_T
Padahal, aku udah takut gak bisa up hari ini ≧﹏≦Sudah pada mampir belum ke cerita kolaborasi7benua lainnya?
1. Vanila: Kavii_98
2. Kanolla: Fifi_Alifya
3. Dian: azdiyare_ahsan708
4. Joyce: IndahCatYa
5. Tania: AnnyoosAn
6. Sarah: SilviaRodiana
Dan lagi mereka yang mendukung dan membimbing kami 😄😄
Kak Evie Talithaa56 dan Kak Mey MeylindaRatnaKetika aku melangkah maju, lakukanlah hal yang sama. Aku hanya ingin memiliki langkah yang sama denganmu.
-Iya, Lo!-Jangan lupa mampir ke cerita aku yang satu ini ya 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Fiksi Remaja[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...