5. Inilah Aku

355 34 13
                                    

Kita diciptakan berbeda oleh Tuhan. Kau tahu itu. Namun, kenapa surga dan Bumi kau paksa untuk bersatu?

—•°•—
.
.
.

Suara dentingan sendok, menyerang setiap pelanggan yang menginjakkan kaki di tempat itu. Tempat yang tidak begitu luas--hanya bisa menampung tiga meja makan--menjadi incaran para buruh sekadar mengisi perut.

Sempit, tetapi itu tidak menjadi penghalang atas kualitas kenikmatan makanan di situ.

Mikha dan Morger baru saja menginjakkan kaki di sebuah warung makan. Sesekali gadis itu menyapa orang-orang yang dia kenal. "Bang, pesan nasi seperti biasa. Tapi dua porsi," seru Mikha pada pemilik warung sekaligus juru masaknya.

"Siap, Bos!" ujar pria berjenggot itu dengan senang.

Sembari memasak, si pria sesekali melirik ke arah mereka. "Mik, tumbenan lo bawa cowok."

Gadis yang disebut namanya, mengangkat satu kaki, sembari memakan kerupuk yang tadi dia ambil. "Biasa juga gue bawa cowok," ujarnya santai.

Pria itu meletakkan minuman di atas meja makan mereka. "Kalau ini mah beda. Yang ini terlihat spesial dari biasanya."

"Cuma orang biasa. Sumber uang gue, Bang." Perempuan itu, hanya melirik sekilas lelaki yang ada di sebelahnya.

Pria yang sejak tadi memperhatikan mereka, mendekatkan mulutnya ke arah telinga Mikha. "Ganteng uy. Gak niat nyambar nih?" godanya.

"Ganteng, sih, tapi gak niat nyambar," bisik Mikha. Dia pun menendang pelan kaki Morger. "Diam-diam saja dari tadi. Kenalin nama lo ke Bang Jego."

Morger tersenyum sembari mengulurkan tangan ke arah pria itu. Namun, ulurannya tidak mengarah ke pria itu. "Perkenalkan nama saya, Morger."

Merasa aneh, tetapi Bang Jego tetap menyambut uluran tangannya. "Jego, orang-orang sini bilangnya, Bang Jego."

Pria dengan badan kekar, kembali berbisik ke arah Mikha. "Dia buta?"

Gadis itu menyeruput es teh. "Iya, dia buta," ucapnya enteng. Morger yang mendengar, hanya tersenyum lembut.

Merasa tidak enak, pria itu menginjak kaki Mikha dengan kuat. Membuatnya merintih kesakitan. "Kenapa, sih, Bang?" sinisnya tidak terima. Pria itu hanya membalas dengan senyuman, dan kembali melanjutkan pekerjaan.

Tidak perlu menunggu lama, makanan yang mereka pesan telah tiba. Nasi yang dilengkapi; sayur, tempe, perkedel, dan tidak lupa sambal terasi berhasil mengundang selera makan pada gadis itu. Dengan sergap Mikha menyantapnya.

Morger yang mendengar kunyahan dari Mikha, memilih untuk menyantap makanan tersebut.

"Bagaimana, enak, gak?" Dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, gadis itu bertanya demikian.

Morger mengangguk, dan makan dengan lahap. Untuk pertama kali, dia merasakan makanan seperti ini. Ternyata makanan pinggiran tidak terlalu buruk.

Suara sendawa yang dihasilkan oleh perempuan itu, menjadi bukti seberapa kenyangnya dia. Dengan pelan dia mengusap perut yang sedikit buncit. "Lo sering-sering aja kayak gini," ujarnya, kemudian disusul dengan sendawa.

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang