18. Ini Impianku

251 22 0
                                    

Aku tidak merindukan apa yang tak pernah aku rasakan.

»☆«
.
.

Cahaya lampu kota berhasil memantulkan keindahan pada kaca mobil. Namun, sayang. Semua itu terasa percuma bagi lelaki yang ada di dalamnya. Selesai acara tadi, mereka memutuskan untuk langsung pulang.

Namun, sejak mobil melaju, tidak ada percakapan di antara dia bersama perempuan di sebelahnya. Terlihat ada sesuatu yang mengganjal di pikiran si lelaki.

Hingga terdengar suara tarikan napas panjang. "Mikha--"

Morger menahan napas terkejut, ketika si pemilik nama menyenderkan kepala di bahunya. Mikha yang hanya diam tanpa mengeluarkan satu kata pun, membuat dia bertanya-tanya. "Mikha, k--kau ke … napa?" tanyanya berusaha menahan gugup.

Gadis itu memegang dada dengan sangat kencang. "Se … sak …," rintih Mikha dengan napas tersisa. Deru napas, tidak bisa ia kontrol.

Sontak Morger mengubah posisi, dan menjadikan tanganya sebagai sandaran gadis itu.

"Mikha." Dia menggoyang tubuh si gadis untuk memastikan apa dia masih dalam kondisi sadar atau tidak. Namun, tidak ada balasan yang ia terima.

Dia menggoncang lebih kuat. "Mikha …."

Hening.

"MIKHA!" teriaknya dengan raut wajah yang tidak dapat dikontrol. Perasaan khawatir tidak dapat ia dustakan.

Terdengar erangan kecil. "A … ku, tidak apa … apa," ujar Mikha dengan tersengal-sengal.

Seketika ada perasaan lega dari lelaki itu, walaupun hanya sedikit. Tanpa menunggu lama, dia beralih ke arah sopir. "Pak, kita ke rumah sakit sekarang!"

Alih-alih Mikha mencengkeram tangan Morger dengan kuat, seraya menggeleng pelan. "Tidah usah … aku mulai baikkan …."

Lelaki itu hanya diam. Namun, Mikha dapat merasakan, bahwa tubuh Morger meluluh.

"Baiklah," ujar si lelaki dengan intonasi yang mulai tenang. Dia pun meletakkan kepala Mikha di pangkuannya. "Sebentar lagi kita akan sampai."

Morger membuang pandangan ke arah luar jendela.

Kesal?

Tentu saja perasaan itu yang ia rasakan. Bagaimana tidak? Ia tidak menyadari berapa lama perempuan itu menahan rasa sesak. Seandainya dia menyada lebih cepat, pasti Mikha tidak akan semenderita tadi.

Seketika ia menertawakan dirinya sendiri.

"Morger," panggil Mikha dengan napas yang mulai terkontrol.

"Iya?"

"Aku punya impian. Kau mau tahu?"

Morger mengangguk.

"Aku ingin membangun sekolah yang sangat besar. Tapi, hanya untuk kalangan kami." Entah kenapa, Mikha merasa teriris ketika mengucapkan kata 'kami'. Menyadari jauhnya jarak perbedaan antara ia dan Morger.

Tiba-tiba suara dering telepon mengusik pembicaraan mereka. Morger dengan cekatan merogoh saku baju. Seketika mobil diisi dengan percakapan antara dia dan si pemanggil.

"Siapa?" tanya Mikha ketika melihat Morger memasukkan kembali benda canggih tersebut.

"Dari, Mamah."

Mikha tersenyum hambar. "Mamah …."

"Kau merindukan orang tuamu?"

Dumb!

Seketika Morger merutuki pertanyaan yang berhasil lolos dari mulutnya. Harusnya ia tahu, bahwa hal itu hanya menyakitkan Mikha.

Mikha menggeleng. "Tidak. Aku tidak merindukan apa yang tidak pernah aku rasakan."

Rahang lelaki itu seketika terasa kaku hanya untuk berbicara.

"Morger," panggil Mikha yang hanya dibalas dengan dehaman. "Apakah salah, jika seseorang ingin memiliki. Namun, pada akhirnya ia meninggalkan apa yang sudah ia miliki?"

"Salah."

"Bagaimana kalau ia pergi, karena misinya di dunia sudah selesai?"

"Itu beda konteks."

Mikha tersenyum.

Tanpa sadar, mobil sudah berhenti sejak 5 menit yang lalu. Mikha melirik ke arah luar jendela. "Ternyata sudah sampai."

Ia membuka pintu. "Makasih atas--" ucapan itu terhenti ketika Morger mencekal tangannya.

"Kenapa?"

"Kenapa tadi kondisimu seperti itu? Sebenarnya ada apa denganmu?"

Tanpa perlu bertanya, Mikha tahu arah pembicaraan ini. Dia tersenyum jahil. "Jadi, sekarang kau mulai mencemaskan aku?"

Tanpa tega, Morger melepas cengkramannya. "Kata siapa? Sudah, kau pergi saja sana," ujarnya dengan pergerakan tangan mengusir. Namun, lagi-lagi ia meraih tangan si gadis.

"Ada apa lagi?"

Morger menyodorkan sebuah kotak. "Ini untukmu."

"Apa ini?" Tanpa perlu jawaban, ia langsung membuka kotak tersebut.

"Handphone?" tanya tidak percaya.

"Setidaknya, kau tidak perlu pergi jauh untuk bertemu denganku."

Mikha tersenyum. "Terima kasih."

"Sama-sama. Kalau begitu aku pergi." Mobil pun langsung melesat dalam beberapa detik.

Di bawah cahaya malam, Mikha berjalan dengan riang. Mulutnya tidak berhenti tersenyum girang. Dia benar-benar bersyukur dengan hari yang ia lalui sekarang.

"Kak Mikha, habis dari mana?" Seorang anak kecil menyambut si pemilik nama dengan sebuah pertanyaan.

"Habis jalan-jalan."

"Jalan-jalan sama pacar, Kakak, ya?" Siapa lagi kalau bukan Morger yang ia maksud.

Mikha menggeleng. "Bukan, dia bukan pacar kakak."

Entah kenapa, anak perempuan itu malah tersenyum lega. "Kalau begitu, dia boleh jadi pacar aku dong, Kak?"

"Sstt .... Kamu masih kecil, gak boleh pacar-pacaran."

"Lah, tapi Kak Mikha yang udah gede, kok belum pacar-pacaran?"

"Karena kakak bakal langsung nikah! Hohohoho," gurau Mikha padanya.

"Sudah malam, sekarang waktunya kamu istirahat," sambung Mikha seraya menginjak pintu masuk.

"Tapi, Kak ...." Anak perempuan itu sengaja menjeda kalimatnya.

"Sejak kapan Kakak berbicara pakai aku-kamu?"

***

"Bagaimana acaranya?" Seorang wanita yang memegang secangkir gelas, menyambut sang anak dengan pertanyaan.

Morger mencium punggung tangan si ibu. "Berjalan dengan lancar."

Namun, sesuatu berhasil menarik perhatian wanita itu. "Celana kamu kenapa basah."

Sontak Morger meraba celana di bagian paha.

Kenapa basah?

»☆«
.
.
.

TBC

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang