14. Malam Perpecahan

202 21 3
                                    

Aku kecewa dan ingin marah. Namun, aku tidak mau menyakiti-Mu
-•°•-
.
.
.

PRANG!

Pecahan kaca, memecahkan keheningan di tempat itu. Untuk sesaat suasana di ujung jalan menjadi ramai oleh segerombolan orang yang berhamburan keluar dari tempat persembunyian mereka. Butuh beberapa detik hingga akhirnya kedua kubu yang berbeda menutupi jalan raya, di kala suara guntur dan malam yang mulai menunjukkan ancamannya.

Tanpa aba-aba, pertahanan belakang dari kubu pendatang melempari batu atau botol kaca. Sedangkan di bagian depan, siap dengan celurit, golok, balok, dan besi logam.

"Biar gue yang maju ke depan," ucap Mikha yang merupakan pimpinan mereka. Tangan kanannya siap dengan sebuah celurit. Pandangan menusuk, ia berikan ke pada musuh yang ada di hadapannya. Dia dapat melihat ketidak siapan sang musuh.

"Keluarin barang yang ada woy! Musuh udah ada di depan!" teriak salah satu musuh, yang berhasil melewati indra pendengaran Mikha.

Ya, Mikha tidak pernah main-main akan ucapannya. Setiap perbuatan, harus siap menerima imbasan. Nyawa, harus dibalas dengan nyawa. Satu nyawa melayang, harus diganti dengan puluhan nyawa. Geng sebelah telah berani bermain-main api. Mereka tidak mengindahkan ucapannya.

"Musnahkan para baj*ngan itu."

Gerombolan yang di pimpinan perempuan itu, berlari mendekati sang musuh bersarang dengan tampang-tampang yang beringas.

Tidak mau kalah, geng sebelah juga mulai melemparkan serangan. Membalas melempari botol kaca dan batu-batu. Dalam sekejap, langit menurunkan hujan batu yang benar-benar mengerikan, disertai hujan lebat.

Mikha membabat-babatkan celuritnya, tidak peduli dengan hujan yang menghujam penglihatan. Didukung oleh para rekan, membuat kekacauan semakin tercipta. Pertahanan belakang juga terus melakukan aksi support dengan melempar benda-benda berbahaya yang mereka ambil di sepanjang jalan. Korban mulai berjatuhan di pihak mereka mau pun pihak lawan.

Berapa kali suasana tarik ulur mereka rasakan dalam tawuran itu. Tidak mengenal kekalahan, kedua kubu tersebut tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama ngotot menyerang.

Perjalanan 5 menit, kubu geng sebelah mulai beruntuhan. Namun, Mikha tidak peduli. Dia harus menghabiskan mereka semua. Tidak boleh ada yang tersisa!

Di sela perkelahian, seorang lelaki mendekati perempuan itu. "Mik, lo yakin masih lanjut? Mereka udah mau kalah. Kasihan juga teman-teman kita yang jadi korban."

"Lo ke sini bukan jadi pecundang! Gue gak pernah nampung orang pecundang! Lebih baik lo pergi dari sini."

Lelaki itu mau tidak mau harus melanjutkan perkelahian yang terjadi.
Deon, gue emang gak selemah lo! Kalimat itu yang terus Mikha kecamkan.

Tawuran berjalan panjang selama 15 menit. Namun, mereka terdiam, ketika terdengar suara sirene. Melengking keras di telinga.

Dua kubu seketika pecah! Kabur berhamburan dari jalan.

"Selamatkan diri kalian masing-masing!" Katakanlah mereka berlari terbirit-birit seperti melihat monster. Namun, tidak dengan Mikha.

Diam.

Sontak salah satu rekan perempuan itu berteriak dari kejauhan. "Mikha, kabur, Mik! Ada polisi woy!"

Mikha masih terdiam tidak peduli--tangannya masih memegang celurit. Dia mencoba mempertajam penglihatan di tengah derasnya hujan. Tidak peduli dengan orang-orang yang berlari kabur. Namun, seseorang menarik tangannya.

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang