Terima kasih … kau telah menciptakan obat penyemangat untukku.
—•°•—
.
.
.Hampir 5 menit lamanya, seorang perempuan berdiri di balik pintu. Tangannya sibuk memegang kresek buah. Namun, pandangannya terus jatuh pada ruangan yang ada di balik kaca pintu tersebut.
"Sampai berapa lama kita seperti ini?" Seorang lelaki yang sedari tadi bersama Mikha, menunggu reaksi gadis itu selanjutnya.
Hening.
Mikha tampak memikirkan sesuatu. Namun, itu tidak bertahan lama. Dia memutuskan untuk mengaitkan benda yang ada di genggamannya pada gagang pintu tersebut.
"Kenapa?" Bohong jika Morger tidak tahu apa yang sedang dia lakukan.
"Ayo, kita pulang."
"T-tunggu …!" Morger mencegah pergerakan perempuan itu.
"Kau pikir dengan meletakkan buah di depan pintu, mereka akan tahu begitu saja kalau kau baru datang berkunjung ke sini?"
Mikha memandang ekspresi lawan bicaranya. "Mereka tidak tahu …."
"Kau tahu itu. Terus kenapa ka--"
Mikha berjalan melewatinya--tak acuh. "Kedatangan gue hanya akan memulai perkara."
Morger tak habis pikir dengan jalan pikiran si gadis tomboi. "Lalu untuk apa kau datang ke sini, kalau kau berpikir seperti itu?" Dia berusaha menyusul gadis itu.
Mikha terus saja berjalan.
"Setidaknya gue bisa lihat keadaan dia sekarang."
Namun, dengan tiba-tiba, ia menghentikan langkah, dan langsung berbalik.
Morger yang kini berada di hadapan gadis itu, menautkan kedua alis. "Ada apa?"
"Lo gak marah, 'kan?"
Seketika terbesit di pikirannya. "Aku marah." Tanpa diduga, Morger menarik perempuan itu.
"Ikut aku."
***
Gadis itu melirik segala arah. Mencoba mengartikan tempat yang sudah mereka pijak. Langkahnya sengaja dia lambatkan. Sedangkan Morger tetap mempercepat langkahnya.
"Kita ada di mana? Kayaknya lo suka bawa gue ke sembarangan tempat." Masih dengan pandangan meneliti.
Kini pandangnya jatuh pada Morger. "Lo ngapain?" Dia mendekati lelaki itu.
Morger hanya tersenyum. Dengan lembut tangannya menyentuh tuts piano. "Aku ingin berlatih."
"Lo tahu cara mainnya?" Dia memilih duduk di sebelahnya.
"Buta bukan berarti gak guna."
Morger memandangi piano yang ada di depannya beberapa detik. Tersenyum lembut, sebelum jari lentiknya mulai bergerak di atas tuts. Alunan lembut, menyentuh perasaan yang mendengar. Morger masih memainkan jemari di atas deretan hitam putih tanpa perlu panduan partitur.
Tanpa sadar, Mikha memejamkan mata, menikmati kelembutan yang mulai merasuk hati. Hingga sentuhan akhir, menutup permainan itu.
"Apakah itu yang lo sebut berlatih?"
Terlihat Bulan Sabit di tepi bibir lawan bicaranya. Namun, itu tidak bertahan lama. "Menurutku bermain di luar tempat ini, dengan disaksikan banyak orang, adalah penampilan yang sebenarnya."
"Itu impian lo?"
Morger mengangguk. "Ya, aku memiliki impian bodoh. Bahkan aku memiliki impian untuk melihat keindahan pantai …."
" … miris," sambungnya dengan senyuman yang berkesan terpaksa.
Morger seketika terkesiap. Mikha menarik salah satu tangannya, dan menggenggam dengan sangat kuat.
"Semangat! Buta bukan berarti gak guna. Gue mau tambahin …." Bara penuh semangat terlihat di mata perempuan itu.
" … buta bukan berarti gak bisa bermimpi! Tidak ada mimpi yang bodoh. Bodoh itu, jika lo ngehina mimpi lo sendiri. Pokoknya pasti bisa. Lo harus yakin!"
Morger berusaha menahan tawa. Dengan refleks, dia mencubit pipi perempuan itu. "Kau terlihat menggemaskan seperti ini."
Sontak Mikha menghempaskan tangan lawan bicaranya. "Apa, sih!" Dia membuang muka dari Morger.
"Kau malu?"
"Enggak, tuh!"
"Terus kenapa kau salah tingkah seperti ini?" Ya, Morger tahu kalau perempuan itu merasa tidak nyaman.
"Kata siapa? Gue cuma kepanasan doang." Mikha mengibaskan kerah bajunya--masih enggan menatap si lelaki.
Morger menumpukan tangan pada pinggiran piano. "Sikapmu seperti ini yang aku suka. Masih sama seperti dulu."
Mikha membuka mata dengan sangat lebar. "Ha? Dulu?"
"Iya, dulu. Jauh sebelum pertemuan ini."
"Serius? Kita udah saling kenal sebelumnya? Kok gue gak ingat? Lo gak usah bercanda deh. Perasaan gue orangnya gak gampang pikun."
"Aku tidak bercanda. Itu alasanku ada di sini." Morger bangkit berdiri.
"Tapi, aku tidak ingin memberitahumu sekarang."
—•°•—
.
.
.
.
TBCMorger senang ya buat orang penasaran 😴
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Fiksi Remaja[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...