10. Keinginan Kecil

212 22 4
                                    

Hanya ingin menemukan sebuah cela, dari hati yang telah kau tutup rapat.

-•°•-
.
.
.

Seorang perempuan berjalan gontai, menyusuri dalamnya gedung. Menaiki anak tangga untuk menyusuri puncak tempat tersebut. Angin malam yang pertama kali datang menyapa.

Sebuah pemantik keluar dari saku celana perempuan itu. Tidak lupa sebuah rokok yang bertengger di antara jari tengah dan telunjuk. Hingga perkenaan kedua benda itu, menghasilkan kepulan dari mulut Mikha. Berharap asap dapat membawa pergi pikirannya bersama angin malam.

"Ada masalah?" Suara bariton itu berjalan mendekatinya.

Mikha tak acuh. Dia semakin takis mengisap rokok itu. Namun, sebuah tangan besar merampas kepuasannya, dan langsung menginjak benda itu hingga mati.

"Lo udah bosan hidup?" Kini intonasi suara lelaki itu sedikit tidak bersahabat.

Gadis itu tertawa gila. "Jangan marah. Gue lagi malas berdebat."

Mikha beralih pada sebuah kursi yang sedikit reyot, dan mendaratkan bokongnya pada tempat itu. "Sini, bibir lo berdarah."

Lelaki itu hanya bisa menuruti perintahnya.

Mikha memberikan sedikit obat merah pada lelaki itu. "Kemarin lo kenapa?"

Deon terdiam beberapa saat. "Kelahi."

"Tapi, kenapa sampai lo kayak gini?"

Lawan bicaranya menjauhkan tangan Mikha dari wajahnya. "Gue gak sekuat lo, Mik. Jadi, wajar gue kayak gini."

"Angel dibawa ke rumah sakit. Seseorang melakukan hal bejat padanya." Mikha dapat melihat, Deon sedang menelan paksa salivanya.

"Lo kenapa?" Semakin diperhatikan, Mikha bingung dengan gelagat lelaki itu.

"Kok, lo nanya gue kenapa? Gue cuma kaget doang dengar cerita lo."

Mikha semakin mengerutkan dahi, seraya menatap lelaki itu dengan teliti.

Tak!

Sebuah sentilan berhasil mendarat pada dahi perempuan itu.

"Jangan liatin gue kayak gitu." Deon bangkit dari tempat itu.

"Gue mau istirahat." Namun, langkahnya terhenti, dan kembali menatap perempuan itu.

"Hiduplah, dan jangan lupa untuk bahagia."

***

"Ini ayam ribut banget. Udah siang masih berkokok." Seorang lelaki keluar dengan rambut yang sangat berantakan.

"Ada, Mikha?" Sebuah suara berhasil menghentikan langkahnya.

Deon menatap penampilan sumber suara dari atas sampai bawah. "Mikha, lagi gak ada di sini."

"Baiklah, kalau begitu." Morger melepaskan senyum, sebelum pamit dari tempat itu.

"Tunggu! Lo, Morger, 'kan?"

"Kau tahu dari mana namaku?"

"Bisakah kita bicara sebentar?" Tanpa menunggu persetujuan, Deon menutun lelaki itu pada sebuah saung.

Keheningan menemani mereka beberapa menit. Morger hanya ingin menunggu kalimat yang keluar dari mulut si lelaki. Dia tahu, sesuatu yang berat, menipa pikiran Deon.

"Tolong jaga, Mikha." Tiga kalimat.

Singkat, padat, dengan maksud yang sangat gila. Hanya itu saja yang ada di dalam pikiran Morger.

"Terdengar lancang, tapi cuma lo harapan gue."

Morger tertawa hambar. "Apa maksudmu. Bisakah kau menjelaskan lebih rinci? Ini terdengar aneh untukku."

Terdengar lawan bicaranya menghela napas panjang. "Tolong ... sudah cukup Mikha memaksakan diri. Gue menderita lihat dia seperti ini ...." Deru napas yang tidak terkontrol membuat dia harus menjeda kalimat.

"Mikha, hanyalah sebuah pasir pantai. Bertahan dari hempasan ombak, yang dia tidak tahu, kapan ombak itu membawanya pergi."

Morger semakin bingung dengan kalimat yang dia terima. "Aku bingung--"

"Kalian sedang membicarakan apa? Kok keliatannya serius." Si tokoh topik utama berhasil memecahkan suasana di antara mereka.

"Tidak kami hanya berkenalan saja. Kebetulan dia datang buat nyari lo." Wajah Deon terlihat sangat senang di balik dustanya.

"Eh, kebetulan lo datang. Gue minta tolong buat nganterin ke rumah sakit, buat jenguk Angel." Tangan Mikha sibuk memegang plastik buah.

"Tumben lo sejahat ini. Lo dapat dari mana buah itu? Saran gue gak usah bawa buah, kalau ujung-ujungnya hasil nyopet. Entar yang ada Angel makin sakit."

Mikha langsung menghadiahkan sebuah tendangan pada lelaki itu. "Biar gak sekolah, gue masih punya logika kali."

"Ayo, Morger, kita pergi. Berlama-lama di sini, bisa buat struk."

Tidak ada reaksi satu pun yang Morger berikan.

"MORGER!" Sedikit hentakan membuat si lelaki tersentak.

"Maaf, tadi kau bilang apa?"

Mikha memutar kedua bola matanya. "Ayo pergi."

-•°•-
.
.
.
.

TBC

Lagi malas nulis embel-embel :)

MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang