Sekarang aku dapat merasakan apa yang dirasakan Cinderella sebelum jam berdentang pukul 00.00
»☆«
.
.Di depan sebuah cermin, seorang perempuan tersenyum kaku. Dia menatapi balutan gaun biru yang menutup tubuhnya. Bahkan rambut yang selalu ia ikat, kini dibiarkan tergerai bebas. Dia sangat jarang memperhatikan mahkota miliknya, tetapi kenapa sekarang terlihat sangat indah? Dan tidak ketinggalan polesan yang terjejak di wajah. Sedangkan wanita yang berdiri di sebelah, terlihat sangat gembira. Hasil kerja kerasanya melebihi dari ekspetasi.
"Tan, bukankah ini terlalu berlebihan? Aku hanya datang sebagai tamu. Bukan sebagai pengantin perempuan," ujar Mikha. Percayalah, bahwa hasil ini merupakan kerja keras dari ibu Morger. Sebenarnya Mikha tidak membutuhkan itu, tetapi hal ini sudah lebih dulu mendarat di telinga si wanita, dan berakhir seperti ini.
Wanita itu memegang bahu Mikha. "Ini bukan salah tante, tapi ini salah muka kamu yang tercipta sangat cantik."
"Pasti kamu mirip ... ayah atau ibu kamu?"
Dengan pandangan bersyukur, Mikha tersenyum lembut. "Semoga kedua-duanya."
Wanita itu mengernyit bingung. Namun, suara ketukan pintu berhasil mengalihkan mereka. "Apakah waktu kalian hanya diam di tempat?"
Sang ibu menatap Morger atas sikapnya.
"Maaf," ujar Mikha. Dia tidak lupa mencium punggung tangan wanita itu. "Mikha, pamit dulu ya, Tan."
Ketika hendak berjalan mendekati si lelaki, ibu Morger tiba-tiba menghambatnya. "Dia memang seperti itu. Percayalah, dia akan bersikap dingin di depan perempuan yang menurutnya cantik."
Mikha hanya tersenyum, sebelum mereka benar-benar meinggalkan tempat itu.
Cahaya lampu jalan memantul di kaca mobil yang sedang mereka tumpangin. Semenjak mereka di dalam mobil, Morger selalu membuang muka darinya. Hal itu membuat rasa percaya diri Mikha timbul.
"Morger, kenapa sejak tadi kau diam saja?"
"Tidak ada yang penting untuk dibicarakan."
"Apakah ... karena hari ini aku terlihat sangat cantik?" Mikha mencoba mencari perhatian.
"Kau lupa? Mataku bahkan tidak bisa membedakan manusia dan kambing." Morger mencoba menyindir Mikha atas kejadian waktu itu. Ketika pertemuan mereka di kandang kambing. Masih ingat?
Mikha hanya bisa mengerucutkan bibir. Dia memperhatikan penampilan Morger dengan keseluruhan.
Namun, tiba-tiba ia menjentikkan jari. "Aku tahu! Pasti kau malu, karena pada akhirnya kau mengenakan tuxedo pilihan perempuan yang tidak memiliki selera sama sekali!"
Morger sontak terbatuk, dan itu berhasil membuat Mikha tertawa.
"Kata siapa? Aku memakainya karena terpaksa. Ibu menyuruhku supaya terlihat cocok denganmu."
Perempuan itu tersenyum lebar. "Baguslah, kau memang terlihat tampan seperti itu."
Tanpa disadari suara mobil terhenti pada sebuah bangunan tinggi. "Kita sudah sampai."
Mikha merespons dengan anggukan. Ketika mereka menginjakkan kaki di depan pintu masuk, Morger memberikan lengannya pada Mikha. "Ayo, aku akan bersikap yang tidak membuatmu malu."
Dengan ragu, Mikha mengait tangan si lelaki. "Baiklah."
Langkah demi langkah mereka raih. Namun, sepertinya Mikha tidak terbiasa dengan hal seperti ini. "Morger, kau bias masuk lebih dulu. Aku ingin ke toilet." Tanpa menunggu persetujuan si lelaki, ia langsung berlari meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIKHA (Pelangi Tanpa Warna)
Fiksi Remaja[UPDATE SETIAP KAMIS] #7benua "Tidak, itu bukan milik mereka. Mereka hanya merampas hak milik gue dan berpikir bahwa itu adalah milik mereka." -Mikha- Aku memang tidak bisa melihat apa yang kau lihat, tetapi aku dapat merasakan apa yang kau rasaka...