18. A Big Sacrifice

159 14 2
                                    

"Suruh dia ke sini," kata Sid tiba-tiba pada ibunya yang sedang membuat kopi.

Mama menatap Sid tak percaya dengan mulut menganga lebar. Sid berdecak sebal.

"Suruh Gozali kesini."

"OH, SID, ANAKKU!" seru Mama sambil melompat ke arah Sid dan memeluknya erat-erat.

Sid berjuang keras melepasnya. Sekarang, air mata Mama sudah berlinang-linang. Sid menatapnya heran.

"Ma, Mama yakin nggak kena pelet?" tanyanya.

Tapi,tampaknya susah untuk mendapatkan jawaban karena sekarang dia sudah melompat-lompat girang dan berlari menuju telepon. Sid menggeleng-gelengkan kepala dan masuk ke dalam kamar. Ia membanting tubuhnya ke ranjang. Kepala Sid terasa berputar dan mempertanyakan sesuatu, benarkah jalan yang diambilnya ini? Tapi, saat Sid melihat fotonya dan ketiga temannya terselip di cermin, dia tahu bahwa pengorbanan ini hanya kecil saja dibandingkan persahabatannya. Sudah waktunya Sid melakukan sesuatu untuk mereka.

Sid bangkit dan berjalan menuju cermin. Ia lalu mengambil foto yang sudah lumayan kusam itu. Sid nyengir sendiri saat melihatnya Foto itu diambil saat mereka sedang ikut studytour ke Bali. Sid jadi teringat peristiwa pelarian diri Lando dari rumah dan ikut terbang bersama yang lain ke Bali dengan bantuannya, Rama, dan Cokie. Di foto itu, mereka sedang berpose di pantai dengan tubuh kurus ceking. Maklum semuanya masih SMP saat itu.

Selama ini, Sid merasa dirinya yang paling tidak berguna diantara mereka. Sid yang paling tidak bisa berkelahi. Sid juga tidak begitu pintar dan paling susah mengejar ketertinggalan saat semua orang sedang membantu Lando. Sekarang, Sid ingin mengubah sejarah itu. Sid ingin ikut membantu mereka semua mencapai impiannya, mendirikan ekskul bola dan memperlihatkan kebolehan mereka bermain bola dengan mengikuti berbagai turnamen antar sekolah.

Sid meraih remote control, lalu menyalakan player. Seketika lagu Time of Your Life milik Green Day mengalun. Lagu yang penuh kenangan buat dirinya dan teman-temannya. Lagu yang menyuruh mereka menjalani hidupnya dengan seindah mungkin.

Mendadak Mama memanggil dari luar. Sid tahu, inilah waktunya. Sid menghela napas mantap. la keluar dari kamar dan menyusuri gang. Sid merasa sampai dengan cepat sekali ke ruang keluarga. Gozali sudah ada di sana, Mama menatap mereka sebentar, lalu memutuskan tidak mendengar pembicaraan antara lelaki ini. Dia segera beranjak ke kamarnya.

"Yo," kata Sid saat Gozali menatapnya.

"Halo,Sid," kata Gozali mencoba ramah.

Tampaknya Sid tidak begitu peduliselama beberapa menit Dia duduk di depan Gozali, lalu terdiam beberapa menit.

"Apa serius?" tanya Sid akhirnya. Gozali menatap Sid tak mengerti.
"Apa Bapak serius sama Mama?"

"Sid, saya serius," kata Gozali tenang.
"Tapi, sebelumnya saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau dia Mamamu."

"Seserius apa?" tanya Sid lagi. Dia tidak memedulikan kata kata Gozali barusan.
“Apa... mm.... Bapak berniat untuk...."-Menikah?

"Tentu saja. Itu kalau kamu mengizinkan," kataGozali, membuat Sid sebisa mungkin tidak terlihat syok berat.

"Bapak tahu saya tidak akan mengizinkan," kata Sid dingin.
"Jadi, apa yang mau Bapak lakukan?"

"Saya tidak akan menyerah begitu saja," kata Gozali.
"Saya akan membuat kamu bisa menerima saya." Sid tak bisa menahan kekehannya.

"Bagaimana caranya, Pak, kalo saya boleh tahu? Bapak bahkan nggak pernah memunculkan citra baik di depan saya."

"Sid, saya tidak mencampurkan masalah sekolah dan keluarga," kata Gozali lagi.

"Keluarga? Keluarga siapa yang Bapak maksud?" kata Sid geram. Sekarang niat semulanya hancur sudah.

"Bapak nggak akan pernah jadi bagian keluarga saya. Saya nggak akan membiarkan Mama menikah dengan orang seperti Bapak"

"Orang seperti apa maksud kamu?"

"Yang mencampurkan masalah pribadi dengan sekolah," kata Sid, membuat Gozali terkeiut.
"Ya, saya tahu betul kenapa Bapak nggak memperbolehkan kami untuk membuat ekskul bola. Sekarang Bapak mau ngomong apa soal masalah sekolah dan keluarga?"

Gozali terdiam sesaat sambil menatap Sid yang sudah lebih dulu menatapnya tajam. Sid lantas bangkit

"Kalau Bapak memang serius dengan Mama, saya akan tantang Bapak," katanya.

"Kalau Bapak mengizinkan kami untuk mendirikan ekskul bola, saya akan mempertimbangkan Bapak untuk menjadi bagian dari keluarga ini."

"Kamu menjadikan Mamamu sebagai taruhan, Sid?" Kata Gozali sebelum Sid sempat kembali ke kamarnya.

"Kamu mempertaruhkan kebahagiaannya?"

"Saya rasa itu bakal terbukti nanti. Kebahagiaannya. Memang, Bapak pikir dia bakal masih bahagia kalau tahu Bapak lebih memilih ego Bapak dari pada restu saya?" balas Sid, lalu terus berjalan ke kamarnya, meninggalkan Gozali sendiri.

Sid terduduk di ranjang. Tugasnya sudah selesai. Berhasil atau tidak, itu tergantung Gozali. Sid tahu, dia juga melakukan ini untuk dirinya sendiri. Sid harus tahu apa Gozali benar-benar mencintai Mamanya dan bersedia mengorbankan egonya.

Kalau benar Gozali mengizinkan mereka mendirikan ekskul bola, Sid harus merelakan Mama dan membiarkan Gozali menjadi bagian dari keluarganya. Sid tahu itu tak akan mudah. Tapi, bagaimanapun Sid harus membuktikan sesuatu. Sid membenamkan wajahnya ke bantal. Cowok itu benar benar pusing. Dia tak tahu apa yang baru saja dilakukannya.




Wohooo 3 kali sehari macam mimi obat :'D





TBC

AKU UP KEMBALI

JANGAN LUPA POJOK KIRI PALING BAWAH V+C '-'


High School Paradise (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang