Part 8:Tentang sebuah perubahan

1.4K 193 40
                                    






💜Happy Reading💜





"Sadarkan aku! Bahwa seiring berjalannya waktu. Semua takkan sama lagi seperti dulu."

~Putri Maharani~










_____






"RANIII!!!" suara bentakan sang Ayah terdengar ke telinga Rani dengan telak. Ia menelan ludah. Kakinya mundur selangkah saat matanya mendapati tangan kekar sang Ayah terangkat tinggi-tinggi membuat Rani refleks memalingkan wajah dan memejamkan kedua matanya erat-erat.

Rani hanya bisa pasrah saat membayangkan tangan yang dulu begitu ia hormati akan tuk sekian kalinya mendarat mulus di pipi kirinya. Tidak ada perasaan takut lagi seperti dulu. Hanya ada perasaan kecewa di hatinya. Rasa kecewa yang begitu dalam. Dirinya bahkan sulit percaya. Orang yang dulu selalu ia banggakan. Dan yang selalu memiliki tempat paling istimewa di hatinya. Kini bahkan rela menamparnya untuk sebuah alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena Rani tidak mau menghadiri acara di rumah Angga. Rasanya benar-benar keterlaluan.

Lama Rani menunggu tamparan itu. Namun yang terjadi malah jauh dari ekspetasinya. Ia membuka mata dengan perlahan. Mengerjap pelan untuk membenarkan penglihatannya. Rani tertegun menatap tangan kekar Ayahnya yang hanya mengambang di udara. Ia kesulitan menggambarkan ekspresi Ayahnya saat ini yang hanya menatap diam ke arahnya tanpa suara. Juga mata tajamnya yang terlihat memerah karna menahan amarah membuat Rani tidak kuat berada tepat di depan Ayahnya untuk waktu yang lebih lama lagi.

Rani melangkah mundur dengan perlahan lalu berlarian kecil menuju tangga dengan menggunakan sisa-sisa tenaganya. Apapun yang terjadi. Rani sudah tidak mau peduli lagi. Toh pada kenyataannya. Segala yang ada di hidup Rani sudah hancur dan berantakan tanpa tersisa sedikitpun kebahagiaan dalam hidupnya.

Setibanya Rani di kamar, ia langsung termangu di depan jendela kamarnya. Setetes air mata lolos di pipinya dengan lancang. Sial! Ia menangis lagi. Harusnya air matanya ini sudah habis sejak sang Ayah berubah dulu. Karena sejak saat itu ia jadi sering menangis. Sedetik kemudian Rani lalu beralih menatap keluar jendela yang terlihat mendung. Sebentar lagi pasti turun hujan. Akhir-akhir ini hujan sering turun di kota Surabaya.

Tok..tok..tok!!

Suara ketukkan di pintu membuat Rani menghela nafas dengan gusar. Entah siapa lagi yang akan memarahinya setelah ini. Tapi yang pasti. Rani jelas tidak akan pernah mau mendengarkan ucapan siapapun. Karna memang tidak akan ada yang bisa mengubah sifat keras kepalanya sejak kecil.

"Kak Ran.." Risky melongokkan kepalanya di pintu.

Rani menghapus bekas air mata di pipinya dengan cepat mendengar suara adiknya memanggil. Ia lalu menoleh dan melihat Risky tersenyum ke arahnya sambil melangkah masuk tanpa bertanya terlebih dulu atau menunggu persetujuannya.

Rani kembali menatap keluar jendela dengan acuh.

"Kiky tau, kok. Gimana perasaan kakak sekarang." Risky berseru.

Rani hanya diam tak berkomentar.

"Ayah sama Kak Rani itu sama -sama keras kepala. Jadi kalo salah satu antara kalian nggak ada yang mau ngalah. Terus kapan masalahnya selesai?" Risky kembali berseru
di belakang Rani."Kalo bukan demi kebaikan Kakak sendiri, seenggaknya demi Bunda." Risky diam sebentar menunggu respon kakaknya, tapi Rani hanya bergeming.

"Kakak tau sendiri, kan? Kalo Ayah marah, yang kena getahnya itu Bunda. Kasian Bunda, Kak. Apa Kak Rani nggak sayang sama Bunda?! Nggak kasian liat Bunda dimarahin Ayah?!" suara Risky terdengar serak karna menahan tangis.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang