10

14.9K 596 11
                                    

"Alhamdulillah, akhirnya kalian ke sini juga. Ayo, ayo masuk, Ibu udah masakin buat kalian berdua," sambut Resti ibunya Riko.

Deana menyalami tangan ibu mertuanya dengan takzim, begitu juga dengan Riko.

"Ibu, ngapain repot-repot. Kita cuma sebentar ko," ujar Riko.

"Gak repot, udah ayo masuk. Kalian 'kan gak pernah main ke Ibu. Sekalinya main, nginep ya," pinta ibunya sambil berlalu ke ruang makan.

"Ekhem! Daritadi diem aja, ibu udah nungguin di meja makan, tuh," ucap Deana, tadi ia mengikuti ibu ke meja makan. Namun pas tengok ke belakang, Riko tidak mengikutinya juga.

"Iya ini udah mau ke sana." Seulas senyum iya berikan pada istrinya.

Sedangkan Deana merasa bahagia. Tapi tunggu dulu, apa karena ini di rumah ibunya? Batinnya bertanya-tanya.

Secangkir teh panas dan beberapa potong bolu, yang tadi dibawa. Mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Riko sibuk dengan benda pipih pintarnya di pojok sofa, bermalas. Sedangkan Deana dan ibu duduk bersebelahan.

"Nak, kamu udah isi belum?" tanya ibu pada Deana. Riko yang mendengarnya pun sempat menghentikan gerakan jarinya di layar ponsel, menyimak pembicaraan dua wanita itu.

"Belum, Bu."

"Ya, gakpapa sih, kalau belum. Asal jangan ditunda," katanya. "Semoga cepat isi ya, Nak."

Deana hanya tersenyum, bukan ditunda tapi memang belum pernah sama sekali melakukan, hal yang sudah seharusnya suami istri lakukan.

"Dulu Ibu sama Bapak, sempat menunda kehamilan, karena kami pikir cari uang dulu yang banyak buat bekal nanti punya anak. Hingga akhirnya kandungan Ibu kering, gak bisa punya anak ...

Nak, anak itu harus hadir di kehidupan kita. Sebagai orang tua, gak berharap banyak ketika mempunyai anak, cuma doa ketika kita sudah dipanggil kehadapanNya. Meski Riko bukan anak Ibu, tapi sayangnya Ibu besar seperti anak sendiri. Dan Ibu berharap, jika suatu hari Ibu dipanggil, kalian bersedia dan selalu mendoakan Ibu.

Dea, makasih ya. Udah mau menjadi istrinya Riko, Ibu gak tahu kalau nanti sampai Riko nikah sama orang lain. Apa dia masih mau menemui Ibu angkatnya ini," tutur Resti panjang.

"Bu, jangan ngomong gitu. Riko sayang sama Ibu, sampai kapanpun." Tiba-tiba Riko menghampiri dan memeluk ibu. Air mata sedikit tampak mengalir di wajah sang ibu dan anak angkat itu.

"Makasih, Nak. Ibu bangga sama kalian, semoga kalian cepat dikasih momongan sama Allah, ya," ucap Resti sambil mengusap-usap punggung Riko dalam pelukannya.

Deana tersenyum haru, baru tahu siapa sebenarnya suaminya. Ternyata adalah anak angkat yang dibesarkan oleh tangan sang ibu bernama Resti.

***

Malam pun datang, bintang-bintang menampakan cahayanya. Seolah-olah berbahagia, melihat sepasang suami istri akhirnya bersama dalam satu ruangan, di kamar.

Deana masih duduk manis di kursi meja rias, yang terdapat di kamar rumah mertuanya. Entah mengapa malam ini tidak turun hujan, sehingga hawanya panas.

Ingin membuka kerudungnya, tapi ia malu pada Riko. Belum pernah sekalipun ia melepas penutup kepala dengan sengaja di depan suami. Malam ini sepertinya kepalanya harus tetap tertutup.

"Kamu kenapa?" tanya Riko, yang merasa terganggu melihat istrinya terlihat resah.

"Gakpapa," jawabnya. "Mas, kamu mau tidur di situ sampai pagi?" Deana bertanya balik, melihat suaminya masih nyaman bersender di sofa.

"Kalau aku tidur di ranjang, apa kamu mau tidur di sofa. Ah, jangan. Biar aku aja yang di sini. Kamu tidur aja di ranjang." Riko kembali menyentuh layar ponselnya.

"Mas, kenapa gak pernah bilang. Kalau ibu itu, sebenarnya bukan ibumu."

Riko menghentikan jari-jarinya di layar ponsel, lalu ia mematikan dan ditaruh di meja.

"Kenapa, Mas? Kalau Mas, bukan anak kandungnya, seharusnya bisa nolak pernikahan ini," sambungnya lagi, dan membuat Riko menoleh seketika pada Deana.

"Aku akan merasa durhaka padanya, kalau aku tidak menurutinya. Bagiku ibu sudah seperti ibu kandungku sendiri, ia sudah bersedia merawatku, membesarkanku. Bahkan, sudah menikah pun ia masih saja peduli," ujarnya.

"Tidak ada alasan kuat, untuk menolaknya. Selain ibu bukan ibu kandung, yang sudah banyak berjasa sama aku. Ibu juga punya riwayat sakit jantung," sambungnya lagi.

Riko bangun dari duduknya dan membuka jendela kamar. Hembusan angin bebas masuk ke dalam, sehingga kerudung segi empat yang dipake Deana terlepas, karena pengaitnya ia copot tadi.

Deana berusaha mengambil kerudungnya yang terbang ke bawah ranjang. Kerudungnya masuk ke kolong. Ia pun berhasil mengambilnya namun, saat di tarik kerudungnya terkoyak tersangkut pada sebuah paku yang menancap di sela-sela ranjang.

Riko yang sedang menatap luar jendela, bergeming. Lama tak mendengar reaksi istrinya, saat dirinya bercerita. Ia pun berbalik badan. Dilihatnya sang istri sedang menarik-narik kerudungnya, yang belum berhasil terlepas dari sangkutan paku.

"Deana, ngapain?"

"Eh, ehm, ini jilbabku tersangkut. Tadi terbang pas ada angin masuk dari jendela," jawabnya sambil merapikan rambutnya yang terurai panjang.

Riko bukannya menjawab atau membantu, malah ia terpaku lebih. Ketika tadi ia berpenampilan tertutup rapat terlihat anggun. Kini, lebih menggoda. Jantung Riko sudah tak beraturan, dadanya berdesir syahdu seperti irama musik. Tatapannya tak lepas dari wajah istrinya, ia pun mulai mendekat.

Di raihnya kerudung yang tersangkut tadi, berhasil. Riko berhasil mengambilnya walaupun kerudung itu sudah tak utuh lagi.

"Ya, sobek," sesalnya sambil memandang istrinya. "Maaf, ya."

"Gakpapa, Mas. Itu memang udah nyangkut dari tadi, dan udah sobek juga," jawabnya kikuk.

Riko masih berdiri disisi Deana. Tiba-tiba tangannya meraih pipi istrinya dengan sendirinya. Wajahnya mendekat dan semakin dekat, hingga tidak ada jarak di antara mereka. Seketika Deana melangkah mundur. "Jangan, Mas."

"Kenapa, aku ini 'kan suamimu?" tanya Riko. Ia sudah tak mampu menahan hasratnya.

"Iya, aku tahu. Sangat tahu. Tapi, di hati kamu masih ada nama perempuan lain. Aku gak mau melakukannya, sebelum perempuan itu hilang dari hatimu. Bukan aku tak mau menjadi istri yang baik, tapi aku menjaga diri. Aku gak mau suatu saat nanti, ketika aku hamil, kamu masih menjalin hubungan dengannya."

Riko terkesiap mendengar ucapan istrinya. Benar, ini salah. Seharusnya ia sudah memutuskan dahulu hubungan dengan Riska, sebelum mencapuri Deana. Jika ia laki-laki perlakukan wanita dengan baik, cukup satu wanita yang mengisi hati jangan lebih. Jika suatu saat nanti tidak mau berisiko.

***

"Ada ini? Ko kelihatannya kusut mukanya?" ucap ibunya sedikit menggoda Riko.

"Masih ngantuk, Bu." Riko berkilah.

"Iya, Ibu tau. Wajar namanya juga masih pengantin baru," ujar ibu sambil menahan geli.

"Ibu," rengeknya.

"Iya, sudah sana mandi. Bentar lagi azan subuh."

Sedangkan Deana sudah memakai mukena siap untuk salat subuh. Tadi ia berhasil membangunkan Riko, tanpa perlawanan seperti dulu pertama kali membangunkannya. Senyum mengembang menghiasi wajahnya, kala mengingat semalam.

Berhasil, perlahan tapi pasti. Bunga-bunga cinta kini mekar di hati mereka berdua. Tapi belum cukup sampai di situ. Selama Riko masih membiarkan Riska bersemayam di hatinya, kebahagiaan itu belum sempurna.

Deana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang