Riko menyeringai senang, melihat usaha Hari gagal mengajak Deana makan berdua. Ia mengepalkan tangannya ke atas dan ditarik cepat ke bawah, yes!
"Kamu kenapa?" Hari berbalik, melihat garakan aneh barusan.
"Ah, enggak," jawab Riko sambil mengalihkan pandangan serta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sedangkan Deana tak pedulikan, apa yang dilakukan suaminya.
Konyol.
Tatapan Riko menangkap wajah Deana, sedari tadi belum seulas senyum pun ia lempar untuk dirinya. Ia semakin merasa bersalah pada istrinya. Di lain tempat ia dengan mudahnya, menemui perempuan lain. Sedangkan Deana, ia tak berani berduaan dengan pria lain.
"Ya udah gini, Riko ikut tapi lain meja. Ok, gak ada penolakan." Hari menekankan keputusan.
"Oke ...." jawab Riko tak semangat, sedikit tak terima.
Sedangkan Deana yang sudah duduk manis di salah satu meja, hanya bisa memperhatikan dua pria yang masih saja berdiskusi.
Heran, apa sih yang diributin.
Riko menghempaskan dirinya di meja paling ujung, itu semua perintah Hari. Sedangkan Deana semakin bingung, ada apa dengan bos yang satu ini. Seperti gak boleh ada yang mengganggu.
"Maaf, Dea. Silakan, kamu mau makan apa?" tanya pria berjambang tipis itu.
Deana bukannya menjawab, malah bengong melihat suaminya duduk di pojok sana.
"Ekhem!"
"Eh, iya, Pak?"
"Mau makan apa?"
"Apa aja," jawab Deana segera ia menundukan wajahnya. Hatinya berkecamuk. Ingin membalas perbuatan suaminya, mumpung di depannya langsung. Tapi, sepertinya tidak pantas, keburukan dibalas keburukan.
Deana makan dalam diam. Begitupun Hari. Pria itu merasa aneh, melihat perempuan di depannya lebih diam dari biasanya. "Kamu ada masalah?"
"Saya?"
"Siapa lagi, masa Riko. Kan kamu yang semeja denganku."
"Tidak ada, Pak."
"Bisa gak, bicaranya jangan formal gitu. Biasa aja ngomongnya, ya." Pinta Hari. "Kalau boleh tau, kamu udah punya pasangan apa belum?"
Deana tersentak, kaget. Mendengar ucapan barusan. Lidahnya tercekat, sulit untuk menjawab. Ternyata benar dugaannya, bahwa bos Hari menaruh hati padanya.
Jika menjawab sudah menikah, kemungkinan Hari menanyakan siapa suaminya. Kalau berbohong, nanti akan membuatnya berharap.
Sebaiknya menjawab yang sebenarnya. Soal mau tahu siapa suaminya, itu urusan nanti. Bismillah, Deana mengangguk yakin. "Sebenarnya, saya sudah menikah, Pak."
"A-apa!" Hari mematung untuk sepersekian detik. Seketika hatinya hancur, harapannya pupus sudah. Perempuan yang ia idamkan selama ini, ternyata sudah menjadi istri orang.
Pria itu menundukan kepala, tampak guratan kekecewaan di wajahnya. Menggeleng, mencoba menghibur diri, kalau barusan yang Deana ucapkan adalah bohong.
"Sebaiknya, saya permisi mau melanjutkan pekerjaan." Deana segera menggeser kursinya mundur, berdiri lalu berlalu dari hadapan bos itu.
Sedangkan Riko yang sedari tadi menguping, walau tak jelas pasti apa pembicaraan istri dan teman sekaligus bosnya. Ia tahu, kalau Deana sudah mengatakan sebenarnya. Terlihat dari sikap Hari yang diam mematung.
***
Riko menghampiri Hari, yang masih diam di tempat. Menarik kursi dan duduk di depan Hari. Sepertinya, ini waktu yang pas untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Bro, maaf sebelumnya." Riko sedikit tak enak, merasa bersalah pada Hari.
"Ada apa," jawab Hari datar, pandangan tak beralih, tetap menatap gelas yang diputar-putar oleh jemarinya.
"Apa?" tanya Hari lagi.
"Aku mau njelasin semua, tapi kamu jangan marah, ya."
Hari mengernyitkan dahinya, bingung. "Mau njelasin, jelasin apa?"
"Jadi, sebenarnya. A-aku ini ... suaminya Deana."
"Hah! becanda kamu, gak percaya aku. Mana mungkin, cewe seperti dia mau sama kamu." Hari menyela.
"Iya, kamu boleh gak percaya. Memang aku yang bodoh, telah menyia-nyiakannya. Seharusnya aku jujur dari awal, kalau dia itu istri aku."
"Omong kosong apa ini? Kamu bukannya masih berhubungan sama Riska," ucap Hari tak percaya. "Berarti selama ini kamu selingkuhin Deana."
Riko hanya menunduk, merasa bersalah.
"Ayo jawab."
"Sebenarnya ... aku itu dijodohin sama ibu. Tapi akhir-akhir ini aku suka cemburu, kalau kamu mencoba mendekatinya. Entah sejak kapan, aku sudah jatuh cinta pada istri yang tak diinginkan sebelumnya," tutur Riko panjang.
Tampak Hari menarik napas, gusar. Mengacuhkan pandangan ke sekeliling. Lalu bardiri, berjalan meninggalkan Riko.
"Hari!"
Pria itu menghentikan langkahnya.
"Maafin aku," ucap Riko.
"Minta maaf sama istrimu, bukan aku." Setelah menjawab, Hari pun melanjutkan langkahnya.
***
Malam tiba. Deana masih duduk terdiam, menunggu penjelasan dari suaminya. Kemana ia pergi kemarin. Tidak ada senyum di wajah cantiknya. "Apa selamanya seperti ini, keadaan pernikahan kita?"
Riko terkesiap, suara istrinya terdengar pelan tapi mampu menghantam karang di hatinya. Ia menggeleng, baru kali ini ia tampak takut di hadapan perempuan. Takut akan berakhirnya hubungan pernikahan.
"Lalu, kemana kemarin pergi. Tidur di mana? ... Ah, iya. Bukannya itu sebuah larangan buatku, ya. Tidak boleh mengurusi hidup suamiku sendiri." Deana sedikit mencibir. "Sudah malam, mendingan tidur daripada kesiangan besok."
Deana tak tahan, melihat suaminya diam enggan berbicara. Ada sedikit kristal mengembun di kelopak matanya. Terlalu menyakitkan, lebih baik tak usah tahu apa yang dilakukan suaminya kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deana
General FictionDeana adalah seorang istri, tapi bukan seperti istri pada umumnya. Ia harus mengikuti aturan dari suaminya. Riko tak terima bahwa dirinya sudah menjadi suami dari perempuan pilihan ibunya, dan ia membuat peraturan semaunya pada istrinya, Deana.