6

17K 583 9
                                    

Riko diam, termangu. Ia bingung dengan perasaannya sendiri, yang tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di hati ketika temannya bahagia karena Deana. Tapi ia masih ingat pendiriannya, yang begitu kuat ia pertahankan. "Ini bukan aku! aku harus menemui Riska," gumamnya lirih.

Riska adalah kekasihnya, yang tak diketahui oleh ibunya. Karena Riska masih kuliah, dan ia juga belum siap jika dipertemukan dengan ibunya Riko. Sehingga terlalu lama menunggu, sampai akhirnya ibunya menjodohkannya dengan Deana.

"Nak, lihat orang itu dari tampat yang ia sukai dan sering ia berkumpul. Kalau dia yang suka ke masjid berbaur dengan orang-orang alim, insya Allah orangnya baik," ujar ibunya kala itu, saat membujuknya agar mau menikah dengan Deana.

Riko meraup wajahnya gusar, ia kesal kalau mengingatnya. Tapi apa kata ibunya benar juga, tapi sayangnya Riko masih kekeh dengan peraturannya. Ia merindukan sosok gadis yang selalu membuatnya tersenyum, Riska. Mungkin dengan bertemu dengannya, resah di hatinya hilang, hingga ia bisa menepis rasa yang aneh pada dirinya.

"Bro! Dari tadi melamun aja, itu muka kenapa kusut lagi," cletuk Hari yang melihat Riko diam saja.

"Ah, iya. Aku mau pulang cepet, ya?"

"Lo, kaya karyawan baru aja, terserahlah. Yang penting kerjaannya beres," jawab Hari sambil mengetik di depan komputer.

"Kamu tenang aja, kerjaan pasti beres, kalau gitu aku keluar dulu." Riko keluar dari ruangan Hari. Tiba-tiba ia tersenyum ketika mengingat kegilaan bersama Riska saat jalan bareng dulu.

***

Deana sedang sibuk, di karenakan ada perubahan posisi ruangan rapat di kantor. Menggeser setiap kursi untuk di pinggirkan dahulu, sebelum diletakan pada posisi yang diinginkan. Deana tak sendirian ia masih banyak teman seprofesinya yang ikut membantu.

"Dea, tolong ambilkan ember sama air, dan juga kain lapnya. Nih meja harus bersih seperti semula!" Perintah sang pemimpin kebersihan, setelah semua perabot sudah ditetapkan di tempat yang diinginkan Bos kantor itu.

"Baik, sebentar saya ambilkan di bawah," jawab Deana.

Perempuan itupun segera mengambil apa yang diminta bu Salma pemimpin OB kantor. Semua perabot alat kebersihan ada di lantai bawah, ia pun menaiki lift agar cepat.

Namun saat pintu lift terbuka, di dalam terdapat pria tegap sedang berdiri. Pria itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya, dan akan pergi menemui kekasihnya dulu. Ya, ia adalah Riko, yang baru dari lantai atasnya lagi kusus tempat Bos utama.

Deana tersenyum, berusaha menetralkan degup jantungnya yang mulai berulah. Wajar, perempuan berkulit putih itu mulai jatuh hati pada suaminya, karena ia sering bertemu tiap hari. Tak dipungkiri Deana juga sedikit bahagia bisa berduaan dengan suaminya.

"Jangan suka cari kesempatan dalam kesempitan," celetuk Riko, hingga membuat senyum Deana mendadak kecut.

"Jangan dipikir, aku bakal ngambil kesempatan di lift berdua, mending kamu cari laki-laki lain aja. Yang bisa memenuhi keinginanmu." Lanjutnya tanpa pikir dahulu ketika hendak berkata.

"Mas Riko, cukup! Kamu kira aku perempuan macam apa? Suruh cari laki-laki lain," jawab Deana membela.

"Kamu gak sadar? Kamu itu dengan mudahnya mau nerima nikah sama aku, itu artinya? Perempuan gampangan."

Mata itu mulai memerah panas, menahan air mata yang mencoba menerobos keluar, menangis. Tak disangka, pria yang jadi suaminya itu batu, datar tak berperasaan.

Kapan dia sadar!

Kalau hanya didiamkan atau diacuhkan, itu tak apa. Tapi dibilang suruh cari laki-laki lain? Sungguh Deana sedih, dikira dirinya wanita gampangan. Ya, memang ia mudah menerima nikah dengannya. Tapi bukan berarti ia gampangan.

Deana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang