11

14.4K 601 7
                                    

Semua sudah siap menunggu sarapan. Kalau dulunya roti atau omelet yang terhidang di meja sebagai sarapan. Kini yang terhidang adalah nasi goreng.

Entah kenapa, Riko menginginkannya. Padahal, dulunya menolak sarapan itu. Senyum mengembang di wajah tampannya, kedua orang tua pun heran, melihat perubahan selera makan anak satu itu.

"Tumben, kamu mau sarapan nasi goreng. Padahal semalam udah beli roti tawar sama abang-abang yang lewat lho," kata Resti.

"Sekali-kali, Bu. Mumpung sarapan bareng, sekalian biar Ibu dan Ayah tahu masakan menantu kesayangan Ibu," ucap Riko sedikit memuji, tulus dari hati.

Deana tersipu mendengarnya. Semoga seterusnya Riko selalu berlaku manis padanya, tidak cuma di depan orang tuanya.

"Hem, bener kamu, Nak. Enak nasi gorengnya. Berarti Ibu gak salah, ya. Cari istri buat kamu," puji ayahnya.

Sarapan penuh kehangatan, saling bertukar cerita di sela-sela makan. Sesekali Riko melirik istrinya, yang kadang menunduk malu, ketika mendengar pujian berkali-kali darinya.

***

Bunyi notifikasi berkali-kali. Padahal hari Minggu, siapa orang yang menghubungi Riko sampai berulang-ulang. Deana yang sedang merapikan tempat tidur pun berhenti sejenak, lalu ia melongok ponsel suaminya yang dari semalam tergeletak di nakas.

Tiba-tiba saja dadanya sesak untuk bernapas, hatinya berdenyut hebat, sakit. Perempuan itu pagi-pagi sudah menghubungi Riko. Apa mereka sudah punya janji? Sehingga sepagi ini menghubungi tak cukup sekali.

Air mata mulai menerobos keluar. Dengan sekali tarikan napas dalam-dalam, Deana berhasil menetralkan air matanya. Segera ia menyelesaikan kegiatannya, agar cepat keluar dari kamar. Mencari udara segar.

Deerr! Hentakan pintu mendarat, mengenai kening Riko yang hendak memasuki kamar.

"Ah, maaf gak sengaja." Deana langsung berjalan cepat keluar.

Sedangkan Riko melongo melihat sikap istrinya tak seperti biasanya, yang selalu santai tidak buru-buru. Ia pun masuk kamarnya. Tatapannya menyapu seluruh ruangan mencari sesuatu.

"Nah, ini dia." Sebuah ponsel tergeletak di atas bantal. "Kenapa ada di sini, bukannya semalam di meja?" Riko berbicara sendiri, bingung.

Saat dibuka layarnya, tampaklah nama Riska. Terdapat puluhan kali panggilan dan beberapa pesan darinya.

***

"Bu, kami pamit ya?" ucap Deana izin pulang.

"Iya, hati-hati di jalan. Sering-sering ke sini, nanti biar Ibu gak kesepian," ujar Resti sambil memeluk menantunya.

"Riko, kamu dari tadi main hp mulu, mobilnya udah siap belum?" Ayahnya menepuk pundak anaknya, yang sedari tadi sibuk membalas pesan.

"Udah, Yah. Ya udah, Bu. Tenang, nanti kita bakal sering main ke sini," kata Riko sambil bersalaman dengan ibu dan ayahnya.

"Kalau kalian repot, gak usah. Biar Ayah sama Ibu yang ke rumah kalian aja, sekali-kali," jawab sang ayah sambil mendekap lengan istrinya.

Riko dan Deana pun akhirnya memasuki mobilnya, setelah berpamitan dan mengucapkan salam. Seiring mobil melaju meninggalkan halaman, tangannya ia lambaikan pada ayah dan ibu, sebagai tanda sampai jumpa lagi.

Hening.

Selama perjalanan tidak ada yang bersuara. Deana memilih menatap jalanan, melihat kendaraan berlalu lalang. Riko sesekali menoleh, melihat istrinya yang asyik sendiri.

"Pemandang jalan lebih menarik, ya?" celetuknya hingga berhasil mengusik Deana.

Diam, menoleh tanpa suara.

Deana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang