Langit berkabut, awan mulai menghitam, seperti mengetahui suasana hati perempuan itu.
Deana menaiki bus menuju pulang ke rumah. Tiba-tiba ponselnya berdering, suaminya memanggil.
"Assalamu'alaikum, Mas," jawab Deana mengangkat teleponnya.
"Sayang, tadi ke sini? Ko, gak bilang sama Mas, sih?" suara Riko terdengar sedikit khawatir, gelisah. Ia sudah tahu dari Lina, saat tadi meminta padanya agar membuatkan teh manis buat mengganjal lapar.
"Tadi udah telepon ke atas, lewat Mira. Tapi Mas gak turun-turun, ya udah aku pulang aja," jawab Deana. Hatinya merasa lega, suaminya ternyata baru mengetahui kalau dirinya tadi ke kantor. "Gakpapa, Mas. Mas udah makan?"
"Belum, ini lagi nunggu Hari keluar. Tadi kenapa nasinya gak dianter ke atas aja?"
"Gak enak lah, Mas. Di sana ada pak Hari. O, iya, kenapa gak makan sekalian keluar bareng pak Hari, Mas?"
"Lagi sibuk, banyak banget berkas-berkas masuk yang belum sempet dikerjain."
"Ya udah, Mas selesaikan aja biar cepet pulang, ya."
"Kangen ya?"
"Apa sih, udah dulu, ya Mas." Telepon pun usai. Deana tersenyum, bunga di hati merekah kala mendengar gurauan suaminya.
Sesampai di rumah ia segera meletakan tas slempangnya di kamar. Kemudian mengambil wudu salat ashar.
***
Hujan urung jatuh ke bumi, sehingga sore itu tampak adem bersahabat. Matahari sedikit lagi terbenam. Deana sudah menyiapkan makanan untuk suaminya pulang.
"Alhamdulillah, semoga suka." Masih lauk yang sama, cuma sayur saja yang beda. Capcay, sayuran yang menggabungkan antara wortel, sawi, baso dan banyak lainnya, sudah terhidang di meja.
Tin! Tin!
Deana bergegas keluar, menyambut suaminya pulang. Tampak suaminya membuka kaca mobil, melongok dengan wajah tersenyum. "Makasih, Sayang," ucapnya kala istrinya membukakan pagar.
"Cape ya, Mas?" Sambut Deana seturunnya Riko dari mobil.
"Enggak," jawabnya. Riko menyipitkan mata, bibirnya mengerucut serta hidungnya mengendus menangkap bau aroma sedap. "Kayanya enak nih?"
Riko berjalan mendahului istrinya, masih mengendus mengikuti aroma itu.
"Mas, mandi dulu!" Deana menghentikan Riko yang hampir saja menyuapkan sesendok sayur yang masih mengepul itu.
"Iya, deh. Kamu udah mandi?"
"Udah dong, emang gak ketahuan, ya?"
Suaminya mendekati Deana, mengendus-endus sambil mengitari tubuh ramping istrinya. "Mandi lagi, yok!"
"Mas!"
"Hahaha, iya, iya." Riko segera berlari pergi mandi setelah sebuah kecupan ia daratkan di pipi mulus istrinya. Sedangkan Deana membalas dengan cubitan kecil di pinggangnnya. Deana terkikik geli, ada-ada aja ulahnya.
***
"Mas, kalau aku kerja lagi. Boleh gak?" tanya Deana, sambil menyandar di pundak suaminya.
"Kenapa? Gak betah di rumah?"
"Bukan gitu, Mas. Aku kasian sama ibu. Kalau aku gak kerja, nanti aku gak bisa kasih uang ke ibu."
"Jadi, selama ini kamu kerja buat ibu?" Seketika ia langsung memandang istrinya, penuh tanya.
Deana mengangguk.
"Maafin Mas, ya. Bener, Mas gak tahu. Kalau ternyata kamu selama ini, yang menghidupi ibu dan adikmu." Riko menatap istrinya penuh haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deana
General FictionDeana adalah seorang istri, tapi bukan seperti istri pada umumnya. Ia harus mengikuti aturan dari suaminya. Riko tak terima bahwa dirinya sudah menjadi suami dari perempuan pilihan ibunya, dan ia membuat peraturan semaunya pada istrinya, Deana.