"Tunggu!" Riko berseru menghentikan langkah Hari.
"Iya, ada apa?" tanya Riko, ia menautkan alisnya, bingung.
"Sebaiknya aku ikut," ucap Riko sambil merapikan meja kerja dan mematikan monitornya.
"Ngapain, kerjaanmu gimana?"
"Nanti aku bisa bawa pulang, kerjain di rumah."
Hari mengendikkan bahunya, "Terserah, ya udah ayo!"
Riko tersenyum, dalam hati ia merasa senang.
Hari berjalan cepat, langkahnya yang lebar-lebar membuat Riko semakin tertinggal. Untung saja masih harus menaiki lift sehingga Riko tak tertinggal, membiarkan Deana berduaan dalam lift bersama Hari.
"Apa sudah gak ada yang ketinggalan?" tanya Hari pada sekertarisnya, Deana. Yang sedari tadi sudah menunggu di depan lift.
"Semuanya sudah rapi, Pak," jawab Deana. Mereka bertiga pun masuk ke dalam lift.
Mata Deana sempat menangkap Riko yang sedang mencuri-curi pandang lewat pantulan cermin yang terdapat di lift. Sontak, Riko pun langsung mengalihkan pandangan ke penjuru ruangan sempit itu, saat ketahuan.
Sampailah mereka di tempat yang sudah dijanjikan dengan rekan bisnisnya. Tak butuh waktu lama, hanya satu jam rapat pun usai.
Sedangkan Riko tertidur di kursi luar, tadi ia tidak ikut masuk ke dalam. Dua orang yang baru keluar dari ruanganpun melihatnya.
"Deana, tolong bangunin Riko. Aku ke sana dulu sebentar," ucap Hari, yang berlalu ke toilet. Perempuan berjilbab coklat susu itupun mengangguk sebagai jawaban.
Deana tersenyum, baru kali ini melihat suaminya memejamkan matanya, tidur. Ganteng! Bantinnya. Lama memandang, sampai lupa ia harus membangunkannya.
"Woi, bangun!" Tiba-tiba Hari menepuk pundak Riko yang masih asyik tertidur.
"Deana, kalau bangunin begini caranya. Kalau cuma disenyumin aja, mana bangun dia," sambungnya lagi pada Deana. Sedangkan Riko langsung membuka matanya, bangun.
"Udah selesai, kirain masih lama," kata Riko sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tadi katanya mau ikut, tapi sampai sini tidur," celetuk Hari. Sedangkan Deana hanya bisa menahan tawa, merasa geli melihatnya.
"O, iya. Kita makan dulu sebelum balik ke kantor, ayo." Hari mengajak makan siang. Mereka bertiga pun makan siang bersama untuk kedua kalinya.
***
Deana meletakan tasnya di meja, lalu berlalu ke dapur. Mengambil mangkuk dan sendok, ia baru saja membeli makanan kesukaannya, seblak. Makanan yang pedas itu lagi naik daun beberapa bulan terakhir ini. Hampir setiap pulang ia membelinya, kalau tak kehujanan.
Sepi, sendiri lagi. Entah kemana lagi pria itu. Setiap istrinya hendak pulang, ia selalu saja menghilang. Deana menggelengkan kepalanya, ngapain mikirin suami yang gak jelas.
"Assalamu'alaikum!" Terdengar suara orang perempuan memberi salam.
Deana yang lagi asyik mencuci mangkuk pun dihentikan. Lalu berjalan keluar melihat siapa orang itu.
"Waalaikumsalam, eh Ibu Rima. Silakan masuk dulu."
"Gak usah di sini aja, teras."
"Bentar dulu, ya. Saya ambilkan minum," ucap Deana.
"Gak usah, saya cuma mau kasih tau. Nanti hari minggu ada pengajian di masjid, nanti Neng Deana bisa datang 'kan?" tanya perempuan bertubuh gempal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deana
General FictionDeana adalah seorang istri, tapi bukan seperti istri pada umumnya. Ia harus mengikuti aturan dari suaminya. Riko tak terima bahwa dirinya sudah menjadi suami dari perempuan pilihan ibunya, dan ia membuat peraturan semaunya pada istrinya, Deana.