12

14.1K 627 10
                                    

Riko menatap perempuan bermata sembab, di seberang meja di sebuah kedai. Sudah lebih tiga jam ia menemani. Hal ini membuat Riko menjadi tak tega, jika harus meninggalkannya.

Saat pengajian tadi, suara ponsel berdering lumayan nyaring. Sehingga mengganggu jamaah yang hadir, dengan terpaksa ia keluar untuk menjawab teleponnya.

"Aku mau ketemu kamu, sekarang." Suara lantang, penuh penekanan yang disertai isakan tangis perempuan.

Seketika, Riko langsung iba. Merasa tak tega. "Iya, aku ke sana."

Hasil sidang dinyatakan, Riska belum bisa lulus. Dan harus mengulang lagi tugas skripsinya. Padahal sebelum sidang penentuan, perempuan itu bahagia sekali. Ia pikir akan lepas dari tugas-tugas yang membosankan, dan akan segera menikah dengan sang kekasih.

"Apa kamu mau nunggu lama lagi," ucap Riska tergugu, ia sangat takut kalau Riko tak mau lagi menunggu lagi sampai kuliahnya selesai.

"Sudah, jangan nangis. Mungkin belum waktunya," ujar Riko menghibur.

"Sudah malam, nih. Kayanya aku harus pulang. Ga enak kalau besok telat berangkat kerja," ujar Riko lagi.

"Tuh, kan. Sekarang kamu kenapa sih? Lebih sering sibuk kerja, bukannya kamu itu kerja di kantor temenmu itu?" Riska bersungut, tampak guratan kekecewaan di wajahnya.

"Bukan gitu, aku juga 'kan  mesti kasi contoh yang baik buat pekerja lainnya," katanya. "Sudah ya, kita sekarang pulang. Aku anter kamu ke rumah."

"Aku gak mau pulang ke rumah." Riska merajuk memajukan bibirnya.

"Terus, mau tetep di sini?"

Riska menggeleng. "Ke hotel, aku mau nginep di hotel."

Riko menarik napas gusar. "Ya sudah, tapi aku gak bisa nemenin di sana."

"Kenapa? Bukannya laki-laki suka kalau pergi berduaan ke hotel."

Astagfirullohhaladzim! Batinnya beristigfar, Riko maraup wajahnya kasar. Bagaimana bisa, berdua di kamar. Tiba-tiba ia ingat istrinya.

***

Embun membasahi dedaunan kembang di taman, bunga-bunga bermekaran cantik nan indah menyambut datangnya pagi.

Perempuan berpakaian rapi, yang siap berangkat kerja sedang duduk termangu. Menunggu sang suami, yang sedari kemarin belum pulang.

Tampak ia mendesah, ah perasaan apa ini. Semenjak menginap di rumah mertua, dawai asmara semakin menggelora. Deana jatuh cinta pada suaminya.

Kalau dulu ia sering berusaha, tak mau mempermasalahkan sikap suaminya padanya. Tapi sekarang, rasanya ingin membuat Riko sadar, siapa dirinya.

Sepertinya suaminya gak bakal pulang ke rumah, mungkin langsung berangkat kerja! Pikirnya. Ia pun memutuskan berangkat kerja sendiri.

Sesampainya di kantor, Deana langsung masuk mengabsenkan diri. Di sana ada banyak karyawan, sedang bersenda gurau sambil menunggu waktu jam kerja dimulai.

"Dea, kita ke kantin dulu, yuk." Teman yang dulu seprofesinya menghampiri.

"Gak ah, aku langsung ke atas aja."

"Tuh, kamu kenapa? Udah diangkat jadi sekertaris, sekarang lupa sama aku," ucap Lina sambil mengerucutkan bibirnya.

"Lina, bukan itu. Aku ... ah, nanti aku ceritakan." Deana langsung berlalu meninggalkan sahabatnya itu.

Pasti ada apa-apa sama suaminya!
.
.
.
"Pagi, Dea!" Sambut teman bagian kebersihan.

"Kamu ko udah nyapu aja, yang lain aja masih santai," ujar Deana.

"Iya, kalau ruangan ini harus paling awal dibersihkan. Soalnya bos mana mau liat kami masih bersih-bersih."

"Ooh, aku gak tahu. Soalnya dulu gak bagian bersih-bersih di sini."

"Nah, udah selesai. Aku ke bawah ya, Dea."

Di lihatnya jam di dinding, pas menunjukan angka delapan.

"Pas banget kelarnya," celetuk Deana. Sedangkan orang kebersihan yang bernama Tono, hanya tersenyum dan segera turun.

***

Pria itu terbangun, merasakan ada yang pegal di bagian tubuhnya. Semalam ia memilih tidur di sofa, yang terdapat di hotel. Sedangkan perempuan yang menangis kemarin, masih terlelap di bed berukuran king size.

Tuhan jangan hukum aku! Tidur sekamar, walaupun tidak melakukan hal-hal yang aneh. Tapi itu membuat Riko merasa bersalah. Kalau dengan istrinya saja, yang sudah sah pernah ditolak.

Ia pikir akan sangat bejat dirinya. Jika sampai menyentuh perempuan yang bukan halalnya. Ia masih waras. Tidak mau memanfaatkan situasi.

Semalam perempuan itu sempat kalut, memaksa Riko melakukan sesuatu. Tapi Riko tak mau, karena ia tahu itu hanya nafsu sesaat yang dilandasi rasa prustasi.

Segera ia beranjak membersihkan diri, dan lansung pergi ke kantor. Tak mungkin pulang ke rumah dulu, percuma. Pasti istrinya sudah berangkat.

Ia berjalan berjingkat pelan, agar tak terdengar dan membuat Riska bangun. Dan segera pergi meninggalkan Riska di hotel sendirian.

Selama perjalanan ia mencoba menghubungi temannya, Hari. Kalau hari ini sedikit telat. Ini karena semalam ia terjaga, ingin segera pulang. Tapi lagi-lagi Riska menghalaunya, ternyata perempuan itu belum pulas tidurnya. Sehingga bangun kesiangan.

"Bro, maaf telat."

"Udah biasa," jawabnya cuek.

"Sekertarismu udah berangkat?"

"Ngapain nanyain dia?" Hari bertanya balik.

"Ah, enggak. Emang gak boleh, paling gak 'kan kamu bisa minta tolong ama dia, kalau ada apa-apa," kilahnya. "Ya udah ya, aku lagi nyetir nih." Riko mematikan teleponnya.

"Semoga dia gak marah, maafin aku Dea," gumamnya.

***

Di pandanginya terus monitor, tanpa mempedulika pria di samping yang terus berbicara pada Hari. Entah, sepertinya pria itu tak ingin temannya, terus mengganggu Deana.

Riko yang terus saja menyela pembicaraan Hari pada Deana, seperti tidak ikhlas. Kalau istrinya didekati orang. Sendirinya ngapain, semalam gak pulang! Pikir Deana.

"Dea, kalau udah selesai kita makan," kata Hari, lebih tepatnya sebuah perintah karena terdengar dari nada bicaranya.

Deana hanya mengangguk, dan terus menyelesaikan jadwal-jadwal untuk pertemuan bosnya itu.

Riko tampak gusar, melihat Deana tanpa ekspresi saat melihat dirinya. Marah, pasti sudah jelas tampak dari wajahnya yang datar. Tiba-tiba ia merasa ada gumpalan batu di hati, rindu lihat senyumannya.

"Alhamdulillah, selesai!" seru Deana bersyukur. Sedangkan tak jauh dari situ, ada dua pria sedang duduk di sofa. Langsung menengok padanya. Akhirnya makan siang juga! Senyum terukir di wajah Hari dan Riko.

"Oh, iya. Riko, maaf. Kali ini kamu jangan ikut makan bareng aku dulu, ya. Aku pengin berdua sama Dea aja," bisik Hari.

Glek! Riko tak percaya apa yang barusan didengar. "Ta-tapi, aku ...."

"Ini adalah hukuman, karena kamu tadi telat!" Potong Hari cepat.

Tega! Ah siapa yang tega?

Deana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang