18

11.3K 441 8
                                    

"Kalian sedang ngapain? Ribut-ribut kaya anak kecil," kata Hari. "Kenapa ada Riska di sini, Riko?"

"Aku gak tahu, tiba-tiba aja dia di ruanganku." Riko menaikan bahunya.

"Eh, Hari apa kabar?" Rika menghampiri Hari dan berjabat tangan.

"Baik. Oh, iya Riko, kata supervisor ada karyawan baru. Apa kamu udah lihat orangnya?"

"Itu aku, aku yang melamar kerja di sini," jawab Riska cepat.

"Apa!" Riko dan Hari kaget.

"Kenapa? Aku udah diterima sama pak Faisal yang jadi supervisor itu." Riska memandang keduanya bergantian.

***

"Aku gak bisa, ini udah peraturan perjanjian kontrak. Sebelum Riska memulai kerja otomati dia sudah menekani tanda kontrak itu. Kalau langsung dipecat begitu saja, bisa-bisa dia nuntut keadilan," ujar Hari. Ia tidak bisa apa-apa kala Riko meminta agar Riska tak diperbolehkan bekerja di kantornya.

Tampak beberapa kali Riko membuang napas kasar, berkali-kali ia meraup wajahnya gusar. Baru ia menyecap manisnya madu bersama istrinya, sudah ada ganjalan batu menghadang.

"Ya sudahlah, tapi jangan paksa aku untuk mengajari komputer," tukas Riko.

"Hei hei, Riska bukannya anak kuliahan? Pasti dia bisa dong komputer."

"Taulah, skripsi aja gagal."

"Kamu kenapa, jadi gampang marah gitu?" tanya Hari.

"Kamu yang kenapa, udah jelas dia itu  ...."

"Mantan."

Riko menjambak rambutnya, kesal.

"Itulah, akibat tidak jujur dari awal."

Riko berhenti, menatap Hari. Benar apa yang ia katakan, ini semua salahnya, tidak jujur dari awal, tapi mau dikata bagaiamana lagi. Kala itu perasaannya masih mengawang jauh, lebih mementingkan diri sendiri.

***
Baru sehari tidak kerja, Deana merasa bosan. Ingin sekali ia mengirim makan siang untuk suaminya ke kantor.

Dari tadi ia sudah berkutat di dapur, memasak lauk dan sayur kesukaan Riko. Ayam goreng lengkuas dan tumis buncis, serta nasi sudah rapi dikemas dalam wadah.

Giliran ia bersiap diri, membersihkan badan dari keringat hasil perang di dapur. Dengan gamis berwarna hijau tosca dipadu padankan jilbab merah maroon, ia pun siap untuk mengantar makan siang.

Selama belum sampai di kantor, ia membuka aplikasi berlambang huruf F. Tampak Lina mengunggah status, mengungkapkan kekesalan. Deana hanya tersenyum membacanya, sahabat satu itu memang kadang suka mengeluarkan unek-unek di media sosial tanpa kejelasan, membuat orang yang membaca bertanya-tanya serta menduga-nduga.

"Makasih, Pak," ucapnya setelah membayar taksi online, lalu turun.

Masuk ke dalam kantor melalu pos penjaga. Di sana ada Muklis, yang selalu siap siaga. Deana memberi salam padanya.

"Deana, eh Bu Deana," ucapnya sambil menunduk hormat.

"Pak Muklis, seperti biasa aja panggilnya, gapapa. Aku masuk, ya."

"Silakan." Muklis mempersilakan dengan tangan mengepal menunjukan jempol dimiringkan ke arah pintu masuk.

Deana pum masuk, tak sabar rasanya ingin melihat suaminya lahap menyantap masakannya. Ia pun menghampiri Mira, penjaga meje resepsionis. "Selamat siang, Dea!" sambut Mira.

"Siang, Mira. Bisa minta tolong bilangin mas Riko, aku nunggu di kantin."

"Bisa, dong. Bentar, ya." Mira menghubungkan telepon ke atas, memanggil Riko. "Udah."

Deana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang