20. Punishment (2)

5.5K 370 243
                                    

Vote & Comment, please.

♣️♣️♣️

"Pak Bro! Ampun! Sakit!" Jeweran di telinga Sadewa tak kunjung dilepaskan, membuat cowok berpenampilan lusuh itu terus meringis kesakitan sepanjang perjalanan. Ke mana Pak Broto akan membawanya? Sudah pasti, gudang tua; tempat andalannya menghukum murid yang nakal.

Seluruh perhatian di koridor menatap ngeri ke arah Sadewa, membayangkan betapa sakit dan panasnya jeweran di telinga yang kini tampak memerah.

"Apa lo liat-liat?!" bentak Sadewa ketika melewati kerumunan murid yang berbisik-bisik sambil menatapnya dengan sorot 'rasain lo! makanya jangan sok jagoan!'.

Sementara Pak Broto menatap kerumunan dengan sorot 'jangan tiru berandalan ini!'. Matanya mengisyaratkan amukan yang tak terbendung lagi. Kini, ia membuka pintu gudang itu, lalu mendorong Sadewa dengan kasar.

"Bapak mau ngapain saya?!" pekik Sadewa dengan khawatir di ujung tanduk. "Ampun, Pak! Jangan lakuin itu ke saya! Saya masih perjaka!" ucapnya dengan kedua tangan disilangkan di depan dada untuk menyembunyikan tubuhnya.

Melihat kelakuan Sadewa yang selalu tak berotak dalam berucap, membuat Pak Broto semakin murka. "Diam! Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu kepada saya! Itu namanya pelecehan!"

Demi Tuhan, Pak Broto tampak sangat menyeramkan! Padahal Sadewa kan sohibnya? Kenapa ia masih berlaku kejam pada cowok 'polos' itu?

Pak Broto berjalan ke sudut ruangan, mengambil peralatan kebersihan dan melemparkannya ke lantai hingga mengenai kaki Sadewa. "Bersihkan gudang ini dan jangan harap kamu bisa lolos sebelum mengerjakan apa yang saya perintahkan!" titahnya dengan suara menggelegar.

Kontan, Sadewa melongo menatap seperangkat sapu, pel, ember, dan anak-anaknya yang berserakan di hadapannya, kemudian pandangannya berpendar ke penjuru ruangan yang sangat berantakan serta sarang laba-laba di setiap sudut langit-langitnya. Ia menelan ludahnya dengan kasar. "Pak Bro gak bercanda, kan?!" tanyanya, berharap Pak Broto hanya iseng mengerjainya.

Pak Broto maju beberapa langkah, menatap tajam iris abu itu hingga membuat si pemiliknya bergidik. "Kelakuan premanmu itu sudah tidak bisa dianulir lagi! Kamu sudah merusak acara Dies Natalies dan bikin malu kami di depan para tamu undangan!" teriaknya, lalu menunjuk wajah lebam Sadewa beberapa kali. "Kamu itu berandalan yang gak pantes sekolah di sini!"

Kalimat terakhir itu sukses membuat kening Sadewa berkerut. Ia tak menyangka, sosok yang seharusnya digugu dan ditiru, bisa berkata kejam seperti itu. Namun, ia masih berusaha bersikap santai. "Saya juga sebenarnya gak mau sekolah, Pak! Males banget malah! Tapi, karena nurutin omongan Mama, makanya saya sekolah. Sebenarnya, saya juga gak butuh disekolahin."

Pak Broto semakin naik pitam, lantas ia melayangkan tamparan keras di wajah Sadewa. Sontak, cowok itu meringis menahan sakit saat wajah lebamnya kembali dihantam dengan pukulan. "Tidak semua orang bisa sekolah di sini! Harusnya kamu bersyukur, karena masih bisa sekolah di sekolah elit seperti ini!"

"Elit?" Sadewa tersenyum kecut mendengarnya. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, lalu menatap Pak Broto dengan sorot elang. Akhirnya, ia kehabisan stok kesabaran, karena pria tua ini selalu menyulut amarahnya.

"Saya akui, sekolah ini memang elit. Tapi, apa bapak lupa ... apa yang telah bapak lakukan ke saya barusan? Memukul, mengancam dan memaki dengan kalimat kasar, apa itu yang disebut dengan elit?" Senyum sinis tersungging di bibirnya, ia maju satu langkah. Aura dingin terpancar dari tatapannya. "Saya rasa, hanya orang kampung yang menyelesaikan masalah dengan cara main tangan."

Pak Broto yang merasa terpojokkan, menggeram dengan tangan mengepal. Ia menggulung lengan bajunya sebatas siku, kemudian mendorong bahu Sadewa. "Kamu sok menasihati saya? Apa kamu juga lupa, kelakuanmu tadi seperti apa? Berantem sama murid SMA lain sampai babak belur, mempermalukan nama baik sekolah! Dasar, manusia tanpa tata krama!" ucapnya, kemudian ia meludah dengan senyum sinis. Kali ini, ia tak peduli dengan apa yang akan dilakukan lawan bicaranya.

Sementara itu, Sadewa langsung mengalihkan pandangan ke sudut ruangan, batinnya tak terima diperlakukan seperti itu, bahkan oleh gurunya sendiri. "Setidaknya, posisi saya di sini adalah sebagai murid. Murid yang mencontoh perlakuan gurunya dan terima kasih, bapak telah mencontohkan kepada saya tentang cara menyelesaikan masalah dengan kekerasan seperti tadi!"

Pak Broto terenyak, kaget dengan sikap Sadewa yang berani membantah dan semakin melunjak. Guratan tercetak jelas di wajahnya, dalam hati ia bersumpah akan memberikan sanksi terberat pada Sadewa jika cowok itu berulah lagi.

Sadewa terkekeh ketika kembali teringat ancaman yang sudah ribuan kali didengar. "Silakan Bapak mau hukum saya dengan model hukuman kayak gimana, saya bakal lakuin dengan senang hati. Kalo perlu pecat saya dari sekolah ini, supaya Bapak gak susah ngurusin murid berandal macam saya!"

Dada Pak Broto terlihat naik turun, berusaha meredam emosinya. Bisa-bisa ia akan terkena struk jika berlama-lama dengan Sadewa di ruangan ini. "Jangan harap kamu bisa lolos dari hukuman ini!" ucapnya kemudian berlalu, mengunci gudang itu, memastikan agar Sadewa tak bisa lolos dari celah mana pun.

Pandangan kosong menatap pintu reyot itu, kini beralih menekuri sapu yang tergeletak di lantai. Sedetik kemudian Sadewa tersenyum kecut mengingat perlakuan gurunya itu. "Guru yang gak bisa dijadikan teladan. Lantas, apa gunanya dia menjadi guru?"

Sadewa menghela napas kasar, kemudian menarik kursi yang ada di dekatnya tanpa membersihkan debu yang menempel terlebih dahulu. Ia duduk pada gumpalan busa tipisnya dan menewarang ke depan. Kini ia sudah tak memikirkan Pak Broto, tetapi teringat kejadian tadi, saat manik abunya tak sengaja melihat Daffa berani menyentuh Samantha, hal itu membuat hatinya panas. Jika saja tadi Pak Broto tidak menyeretnya ke sini, cowok brengsek itu sudah pasti dihajar olehnya.

Desahan berat kembali terdengar dari mulut Sadewa. Ia mengusap wajah, kemudian merogoh kantong celana ketika merasakan getaran ponselnya. Lantas, ia terkekeh membaca pesan group The Monsters.

THE MONSTERS SQUAD

S. Rajendra K.

Sad, lo diapain sama Pak Bro?
.

Romeo Arya W.

Sad, lo masih idup kan?
.

Awan Biru C.

Tobat, Sad! Dosa lo banyak!
Inget! Neraka gak punya AC!
.

Agam Senja D.

Pukpuk Bangsad, uwuuu!
(づ ̄ ³ ̄)づ
.

Tak ada mood untuk membalas, Sadewa kembali memasukkan ponselnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Apa yang dilakukannya hari ini, membuatnya teringat akan satu hal; kenangan di masa lalu.

♣️♣️♣️

Published:
1 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang