47. If you were me ...

516 64 85
                                    

Vote & Comment, please.

♣️♣️♣️

“Gue cabut dulu, ya!” Awan bangkit, menyuruh Senja untuk mengangkat kedua kaki, agar ia dapat keluar dari posisi duduk yang berada di pojok. Tangannya menggenggam dompet, ponsel, dan kunci mobil. Sebelum beranjak, Romeo sempat bertanya mengapa buru-buru pulang, jawabnya, “Bunda udah ngomel! Kalo gue gak balik sekarang, besok-besok gue gak bakal dianggap anak lagi.”

Seketika, ucapan Awan membuat mereka terkekeh geli. Sudah berusia delapan belas tahun, namun diperlakukan seperti bayi lima tahun.

Jarum jam mengarah ke angka sepuluh. Meski sudah larut, kafe itu justru semakin ramai pengunjung; mulai dari mahasiswa sampai pegawai kantor yang menyempatkan mampir hanya untuk sekadar melepas penat setelah seharian beraktivitas.

Romeo memanggil waitress, hendak memesan minuman lagi, karena gelas mereka telah kosong. Malam ini, Rajendra yang membayar tagihannya, sehingga Senja bebas memilih menu apa pun.

Sementara Sadewa masih kalut, punggungnya bersandar pada sandaran sofa dengan satu tangan menutupi sebagian wajahnya. Rahangnya tampak mengeras saat mengingat kejadian satu minggu lalu.

Takdir kejam telah mempertemukan keduanya, menyatukan dalam ikatan cinta. Namun, berujung pada luka. Kemarin, meski Samantha telah berkali-kali mengajaknya bicara, Sadewa enggan memberi kesempatan untuk itu. Ia hanya berusaha menata hati setelah mengetahui fakta di balik kematian sang kekasih.

♣️

Dewa! Please, dengerin penjelasan gue dulu!” Samantha memekik ketika Sadewa menariknya secara paksa ke luar dari rumah cowok itu. Memori buruk yang berputar di ingatan membuatnya takut, namun ia lebih takut lagi jika Sadewa marah padanya atau bahkan membencinya.

“Lo mau jelasin apa lagi?!”
Sorot elang Sadewa menghunus jantung Samantha, membuat gadis itu semakin meringkuk ketakutan.

Kedua kaki Samantha serasa tak kuat untuk menopang tubuhnya yang gemetar. Namun, rasa cintanya melebihi ketakutannya pada Sadewa. Ia memberanikan diri untuk menjelaskan, meskipun pemilik rumah itu telah murka padanya. “Gue minta maaf, karena gue adalah penyebab kecelakaan lo! Penyebab cacatnya Lala! Juga karena gue, lo jadi kehilangan Bella!” ujarnya dengan napas memburu serta tangisan yang pecah.

“Tapi, lo masih inget Adrian, kan?!" Samantha maju satu langkah, menatap sendu manik abu itu seraya meremas ujung baju Sadewa. “Gue pernah cerita tentang kecelakaan yang gue alamin dulu, kan? Itu semua karena Adrian!”

“Tapi, ada lo juga di balik kejadian itu!” tandas Sadewa sambil menunjuk wajah Samantha dengan intonasi meninggi. Sontak, Samantha terenyak dan tertunduk lemah. Cowok yang selama ini berlaku manis, benar-benar berubah 180 derajat. “Adrian yang nyetir! Gue udah berusaha bujuk dia untuk pelan-pelan, tapi dia gak gubris!”

Sadewa membuang pandang ke arah lain, mencoba menahan diri agar tidak berbuat sesuatu yang dapat menyakiti gadis itu. Napasnya terdengar berat, amarah bergemuruh dalam benaknya. “Kenapa lo gak bilang dari awal? Kalo lo jujur, rasanya gak akan sesakit ini!”

Bahu Samantha tampak naik turun, mengikuti irama tangisnya yang terdengar nyaring, membuat beberapa tetangga yang melewati rumah Sadewa, kontan menoleh. “Gue juga gak nyangka kalo ternyata kecelakaan yang kita alami itu saling berhubungan!”

Sadewa menyentuh dagu Samantha dan menatap manik hitam yang memerah itu dengan sorot kekecewaan. Tidak ada lagi Sadewa yang penuh kasih sayang, kini hanya ada Sadewa The Monster. “Bayangin kalo lo jadi gue, ketika adek lo cacat dan lo kehilangan orang yang lo sayang. Apa lo bakal maafin gue?!”

Samantha diam. Ucapan Sadewa berhasil menghunus jantungnya. Tak dipungkiri, jika dirinya berada di posisi Sadewa, ia juga tidak akan bisa memaafkan orang yang telah merenggut kebahagiaannya. Namun, apa daya? Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan dan kini hanya kata maaflah yang dapat ia ucapkan. “Maafin gue.”

“Kalo lo merasa bersalah atas perbuatan lo, harusnya lo tanggung jawab, Sam! Bukannya bersembunyi di balik kuasa orang tua lo, dan menghapus semua bukti kecelakaan itu!” Sadewa menggeram, kemudian menjauhkan Samantha darinya. “Dua tahun gue hidup penuh dendam! Tanpa tau, siapa pelaku dari kematian cewek gue! Dan ternyata, itu lo!”

“Dewa!” Samantha menjerit, tak kuasa menahan lagi. Ia terlalu lelah dipojokkan seperti ini, padahal kesalahan ada pada Adrian. Lagi-lagi, ia harus menuntaskan masalah ini seorang diri, sementara mantan kekasihnya itu justru pergi bersama perempuan lain. “Kalo aja waktu itu gue gak sendiri, gue bakal tanggung jawab. Tapi, lo tau kan, hukuman untuk anak di bawah umur? Itu dikembalikan lagi ke orang tua atau wali!”

“Persetan!” Sadewa membentak, tak peduli jika suaranya mengganggu tetangga sekitar. Sementara Sindy menangis di kamar, meratapi nasib buruk anak-anaknya, ditemani Lala dan Anna. “Lebih baik sekarang lo pulang. Sorry, gue gak bisa nganter lo.”

Bantingan keras pintu utama mengejutkan Samantha. Sadewa berhasil diliputi amarah hingga tak memedulikan cintanya yang selama ini ia perjuangkan. Seketika Samantha kehilangan keseimbangan tubuhnya, lalu ambruk dan menangis sejadi-jadinya. Menyesal, alasan pertemuan dengan sang kekasih bukan serta merta untuk kebahagiaan yang hakiki, namun untuk mengulik kembali luka di hati.

♣️♣️♣️

Published:
12 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang