57. Trying to fix it

585 61 115
                                    

does bad boy deserve for a pure love?
.
.
.

Deru knalpot Jeep hitam di sore hari terdengar berderu ketika terparkir di halaman rumah berdesain minimalis modern. Perpaduan cat hitam, putih dan abu-abu menambah kesan elegan, ditambah interior mewah, membuat siapa pun akan berdecak kagum melihatnya. Bagaimana tidak? Sang pemilik rumah adalah salah satu pengusaha besar di bidang furniture, sehingga sangat pandai memilih desain yang elok dipandang.

Mesin Jeep itu dimatikan, namun pengendaranya tak langsung turun. Di dalam mobil, Sadewa mencoba mengatur detak jantung yang tak beraturan, ketika memikirkan sikap dan ucapan apa yang akan ditunjukan pada orang tua gadis itu terhadapnya. Ia takut, namun demi cintanya ... ia rela mengorbankan diri, meski harus dimaki, dipukuli, atau dibunuh.

Ah, jangan bicara bunuh-bunuhan lagi. Sejak kejadian satu bulan lalu, tepat di hari ulang tahun Lala, Sadewa mulai menjaga sikap dan ucapan untuk tidak berkara buruk. Takutnya saat itu malaikat lewat dan mengaminkan. Hiii, seram!

Sadewa bergidik memikirkannya, merasakan arwah yang mungkin bergentayangan di sekitarnya. Namun, ia berusaha tenang dan abai, walau sejujurnya takut dan merasa bersalah. Tapi, itu kan kehendak Tuhan? Memang takdir si brengsek itu mati di depan matanya. Mau bagaimana lagi?

Polisi menginterogasi pengendara yang notabene adalah tetangga Sadewa, yang saat itu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi hingga membuat tubuh Adrian terpental. Lelaki berusia tiga puluh tahunan itu ditetapkan sebagai tersangka dengan hukuman penjara lima tahun. Karena, terbukti tidak ada unsur sengaja, maka hakim mengurangi hukum tersebut.

Kini, Sadewa paham bagaimana rasanya menjadi Samantha yang selalu dituduh dan dipojokan sebagai pelaku kejahatan, yang mana sebenarnya gadis itu tak melakukan kesalahan apa pun.

Semua yang terjadi adalah takdir yang digariskan Tuhan. Baik atau buruk, suka atau tidak suka, sebagai hamba hanya bisa pasrah dan berserah diri. Namun, tetap harus berusaha jika masih memungkinkan.

Sadewa menoleh, mendapati Bi Ina tengah menatap ke arahnya. Ia yakin, wanita itu pasti menghapal mobilnya yang beberapa kali berkunjung ke sini. Helaan napas panjang diembuskan perlahan, tak lupa buket bunga dan bingkisan cokelat sebagai buah tangan andalannya, lalu Sadewa turun dari mobil.

Sneakers hitam itu melangkah dengan mantap, setelan jaket kulit dan kaos hitam, membuatnya terlihat seperti mafia. Manik abunya bertemu pandang dengan Bi Ina, lantas ia tersenyum tipis. “Bi, Samantha ada?”

Bi Ina yang sedang memegang gagang sapu itu mengangguk dua kali. Tatapannya memancarkan kelegaan ketika mendapati kebahagiaan nona mudanya yang telah kembali. Ia mempersilakan Sadewa masuk, dan menunggu di ruang tamu.

Namun, seketika langkah Sadewa terhenti ketika tatapan elang tampak mengintimidasi dirinya. Ia pasrah, berusaha menguatkan diri dan menunjukan sikap sopan santun kepada orang tua Samantha. “Sore, Om,” sapanya.

Reno menghampiri. Hendak menyalami, namun pukulan keras mendarat di wajah Sadewa. Ia terenyak, bingkisan yang dibawa pun terjatuh bebas di lantai. “Masih berani kamu datang ke sini?!” Satu kalimat itu membuat jantung Sadewa berdegup kencang. Ia bangkit, kemudian menundukan pandangan. “Mau apalagi kamu?! Mau nyakitin Samantha lagi? Iya?!”

“Maaf, Om ... saya—”

“Apa kamu tau, gimana hancurnya perasaan anak saya dengan perlakuanmu itu? Hah?!” Reno semakin menaikan intonasi suaranya seraya menunjuk wajah Sadewa beberapa kali. “Setiap hari dia nangisin kamu, berharap kamu bisa memaafkan dan kembali, tapi yang kamu lakukan justru menuduh, menutup mata dan hati! Apa kamu masih gak percaya, kalo anak saya bukan pelaku tindakan kriminal itu?!”

Fina yang sebelumnya asik menonton televisi sebelum kehadiran Sadewa, kini langsung mematikan benda kotak berukuran 40 inchi dan menghampiri sang suami. “Pa, jangan emosi dulu. Kita bicarakan secara baik-baik, ya. Dewa juga pasti punya alasan kenapa dia—”

“Gak! Dia terlalu mengedepankan dendamnya, dan menyakiti Samantha!” Reno semakin beringas. Suaranya menggema di ruangan itu. Rasa sesak sebagai ayah yang selama ini melihat tangis anak gadisnya, akhirnya terlampiaskan.

“Om, saya tau, saya salah. Saya ke sini mau minta maaf, karena udah berbuat semena-mena terhadap Samantha. Tolong izinkan saya untuk menemui Sam, dan memperbaiki hubungan kami,” ujar Sadewa dengan suara berat. Tatapannya nanar, air mata mulai membanjiri pelupuk matanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk terlihat kuat, namun sejujurnya ia takut mendengar pernyataan pahit yang akan dilontarkan papa Samantha.

“Sekarang kamu pergi dan jangan pernah menginjakan kaki di rumah ini lagi!” Suara serak Reno semakin memekakkan telinga. Sadewa dan Fina pun terkejut mendengarnya. “Saya gak rela anak saya disakitin sama cowok brengsek kayak kamu!”

Fina terus mengusap punggung Reno seraya membisikkan kalimat positif untuk mengembalikan kesadaran suaminya dari emosi yang menggebu-gebu. Ia tahu, Sadewa tak berniat melukai hati Samantha. Ia juga bisa memahami mengapa Sadewa melakukan itu, karena menurutnya Sadewa hanya bingung dan tak tau harus bertindak apa ketika mengetahui kenyataan bahwa Samantha dan Sadewa dipertemukan untuk menuntaskan takdir di masa lalu.

“Gimana aku bisa tenang, kalo Samantha terus-terusan mengurung diri di kamar, gak mau makan, nangisin orang yang bahkan gak peduli sama dia?” tanya Reno dengan lirih. Ia tertunduk sambil mengusap matanya yang basah. Bahunya naik turun seirama dengan isak yang tak begitu terdengar. Batinnya sakit sekali, melihat Samantha yang terus menyiksa diri.

Kini, Reno kembali menatap Sadewa, sorotnya masih terlihat tajam, tapi pilu. “Saya sebagai Papanya, gak pernah mengecewakan dan menyakiti hati Samantha. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk membuat dia bahagia, bahkan ketika saya harus mengorbankan nyawa. Tapi, kamu ... orang asing yang tiba-tiba datang, mencuri hati anak saya, tapi setelah itu mematahkannya!” Reno memekik histeris, suaranya terdengar lemah. Ia benar-benar benci pada Sadewa.

Napasnya yang tersengal-sengal membuat jantungnya terasa sakit. Fina tampak khawatir dan terus mencoba menenangkan Reno. Lelaki itu maju satu langkah, menujuk dada Sadewa dengan pancaran mata berapi-api. “Seharusnya dari awal saya gak mengizinkan berandalan kayak kamu mendekati anak saya!”

💦

Semakin memanas, akankah hati Reno akan semudah itu untuk memaafkan Sadewa?

💦

Published:
16 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang