03. Why is he different?

2.1K 187 235
                                    

Vote & Comment, please.

♣️

3 hari kemudian ...

“Sam!”

Gadis yang asik berkutat dengan kameranya, lantas berbalik ketika namanya dipanggil. Manik hitamnya menangkap sosok wakil ketua kelas XII IPA-1 yang baru saja keluar dari kelas dengan membawa setumpuk buku tugas matematika. “Kenapa, Jazz?”

Agatha Jazzila, gadis cantik nan rajin sekaligus tangan kanan Bu Suryani, meletakkan buku-buku itu di atas bangku panjang yang berada di depan kelas. “Tolong bawa buku ini ke ruang guru, ya?” rengeknya. Samantha mengernyit. “Gue kebelet, nih! Mau ke toilet.” Jazzila nyengir, gigi yang berbaris rapi terlihat selaras dengan wajahnya yang manis.

Samantha mengembuskan napas berat, sekilas melirik tumpukkan buku itu kemudian mengangguk lemah. “Gue taruh kamera dulu,” ujarnya, kemudian masuk kelas dan meletakkan kamera di dalam ranselnya. Namun, saat kembali, sosok Jazzila sudah hilang dari pandangan.

Samantha berjalan menyusuri koridor menuju ruang guru yang letaknya cukup jauh. Kelasnya berada di lantai 3, sementara ruang guru ada di lantai 1. Buku yang bertumpuk-tumpuk itu terasa berat, tak bisa ia bayangkan Jazzila melakukan hal ini hampir setiap hari. Bisa dipastikan, jika Samantha menjabat sebagai wakil ketua kelas dan membawa buku-buku ini setiap harinya, tangannya mungkin bisa berotot.

Dalam hitungan detik, ketika Samantha tiba di lantai 1, tubuhnya tak sengaja membentur bahu seseorang, dan mengakibatkan tumpukkan buku itu jatuh berserakkan. Ia langsung memunguti buku-buku itu, dan menoleh ke belakang, mendapati sosok gadis bertubuh langsing dengan tinggi yang tak seberapa, berlari kecil tanpa berniat untuk meminta maaf.

Samantha menghela napas berat, tak mau memperpanjang masalah sepele ini, karena ia ingin segera menaruh buku-buku ini di meja Bu Suryani dan kembali ke kelas. Namun, seketika sebuah tangan kekar ikut membantu. Samantha menengadah, mendapati sosok misterius berparas tampan dengan rambut berkilau kecoklatan berjongkok di hadapannnya.

“Gak usah ngeliatin gue, gih ambil buku di belakang lo itu.” Kontan, Samantha terkesiap, malu karena tertangkap basah mengamati wajah lelaki itu. Ia berbalik, mengambil buku yang tergeletak di belakangnya dan bangkit.

“Gue bantu lo bawa ini ke ruangan Bu Suryani,” ucap Daffa Febriano tanpa basa-basi. Samantha diam saja, sambil berjalan bersisian, ia terus mengamati cowok setinggi 178cm itu dengan saksama. “Siapa yang nabrak lo dan gak mau tanggungjawab?”

“Hmm ....” Samantha bergumam pelan. “Adek kelas, tapi gue gak tau siapa, karena dia langsung pergi.”

Daffa berdecak seraya menatap lurus ke depan. “Anak jaman sekarang emang krisis moral dan kesopanan, ya?”

Samantha menoleh lalu mengernyit memikirkan ucapan Daffa. “Bukannya lo juga anak jaman sekarang , ya? Generasi Z, kan?” Berhenti berucap, seketika tubuh Samantha menegang ketika melihat senyum simpul di sudut bibir Daffa.

Samantha langsung mempercepat langkah, namun baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Sadewa yang baru saja menuruni tangga di sisi koridor lainnya. Tepat di belakang cowok itu, terdapat anggota The Monsters lainnya. Tatapan sengit ditujukan pada Daffa yang kini berdiri di belakang Samantha, dengan kegiatan yang sama, membawa setumpuk buku. Sadewa yang malas mencari masalah, memilih pergi demi menyelamatkan hatinya yang bergemuruh.

Samantha terdiam seraya memandangi punggung Sadewa, matanya terlihat sayu tatkala mendapati  perubahan cowok itu. Biasanya, di mana ada Sadewa, di situ ada masalah. Tapi, kali ini suasana sangat tenang, padahal jelas-jelas cowok dengan seragam yang berantakkan itu melihat gadis yang disukai, jalan dengan sang rival. Tapi, kenapa dia justru abai dan menjauh?

♣️♣️♣️

Published:
26 November 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang