58. A chance?

628 59 112
                                    

masih adakah kesempatan?
.
.
.

“Papa! Jangan pukul Dewa!” Suara menginterupsi saat Reno hendak kembali melayangkan pukulan di wajah Sadewa. Samantha berlari secepat kilat menuruni tangga, matanya memanas ketika Bi Ina memberitahu perihal kedatangan Sadewa dan amukan sang papa.

Sekilas pandangan Samantha melirik pada bingkisan yang jatuh berserakan di lantai, kemudian mengamati darah yang keluar dari hidung Sadewa. Wajah yang selama ini dirindukan, akhirnya dapat kembali ditatapnya tanpa jarak. Lantas, ia beralih menatap Reno yang emosinya masih berusaha diredamkan oleh Fina.

Tanpa sadar, Samantha terisak, dadanya terasa sesak. “Kalo aku lihat Papa pukulin Dewa, itu bikin hatiku sakit. Jangan pukul dia lagi ya, Pa? Ini semua cuma salah paham.”

Reno mendengkus, melepas genggaman tangan Fina, lalu menatap anak semata wayangnya dengan tajam. “Papa hanya ingin memberi dia pelajaran, karena dia udah nyakitin kamu! Apa kamu pikir Papa gak tau, kalo selama ini kamu selalu menangisi dia?! Kamu sendiri kan, yang bilang, kalo Dewa gak percaya dengan ucapanmu dan memilih pergi karena kejadiaan naas itu?!”

Sadewa terdiam, tak menyangka masalah antara dirinya dengan Samantha, juga melibatkan orang tua sampai sejauh ini. Di saat ia abai demi mengejar sosok di masa lalu yang tak bisa direngkuh lagi, di situ terdapat gadis yang sangat tulus mencintai dan merindukan kehadirannya. Kini, Sadewa benar-benar menyesal, karena telah melukai hati Samantha—gadis yang berhasil membuatnya bangkit dari keterpurukan.

Samantha meraih kedua tangan papanya, lalu mengelusnya dengan lembut. “Pa, Dewa kayak gitu karena masih shock dengan semua kebenaran yang ada. Begitu juga aku. Aku menangis, bukan hanya karena Dewa memberi jarak, tapi aku juga menangisi takdir yang tak adil bagi Dewa. Aku tau gimana rasa sakit yang Dewa alami; ditinggal sang kekasih, dan pelaku kejahatan itu justru melarikan diri. Makanya—”

“Gak ada alasan pembenaran!” Reno menyela seraya menghempaskan genggaman Samantha dengan kasar. Ia bersungut, amarahnya memuncak, terlebih ketika putrinya justru membela Sadewa mati-matian. “Papa bahkan benci kalo kamu menangis karena sikap Papa, tapi dia—” Reno menjeda, menunjuk Sadewa dengan nyalang. “Semudah itu dia menghancurkan hatimu! Sakiiit rasanya hati ini, melihatmu menangisi lelaki yang bahkan gak menganggapmu ada!”

“Om, saya gak begitu—” Sadewa hendak membela diri, namun dipotong oleh Reno.

“Diam kamu! Siapa kasih kamu izin untuk bicara?!” Bak kesetanan, aura Reno benar-benar suram. Lelaki itu sulit dikendalikan, bahkan Samantha yang sudah berurai air mata pun tak dapat meluluhkan hatinya. “Papa minta, kamu jauhi dia!”

“Papa!” Samantha menjerit, tak kuasa menahan perih yang semakin menghujami jantungnya. Seketika ia kehilangan keseimbangan dan terduduk di kaki Reno. Tangannya mencengkram celana kain warna krim itu dengan lemah, ia menangis. “Aku mohon, maafin Dewa, Pa ... Jangan pisahkan kami, aku sayang banget sama Dewa ....”

“Sam ....” Sadewa tercekat, ternyata Samantha benar-benar mencintainya, bahkan rela membantah titah sang papa, hanya demi membela dirinya. Demi mempertahankan hubungan keduanya. Ia menyesal atas sikap buruknya terhadap Samantha selama ini. Kini, ia mengusap pundak yang terus bergerak naik turun, mengikuti irama isak tangis, lalu mengulurkan tangan, membantu Samantha untuk bangkit.

“Lihat Samantha.” Fina mengarahkan wajah Reno, yang semula menatap ke sudut ruangan, agar menatap sang anak yang kini tubuhnya terlihat gemetar. “Kalau Mas memang gak ingin melihat Samantha bersedih, setidaknya kali ini biarkan dia memilih. Sam tau mana yang terbaik, dan pilihan hatinya jatuh pada Dewa.”

Fina mengubah posisi berdirinya menjadi berhadapan dengan Reno, lalu meremas kedua tangan lelaki itu dengan erat. “Tuhan aja Maha memaafkan, masa' kita yang bukan siapa-siapa, terlalu gengsi untuk saling memaafkan?”

Rone terdiam. “Pa, Dewa udah minta maaf. Dia berani datang ke sini, menemui kita, berniat memperbaiki semua kesalahannya. Apa gak sebaiknya kasih dia kesempatan? Bagaimana pun, ini masalah Sadewa dengan Samantha. Kita tidak boleh terlalu dalam mencampurinya.” Fina mengucapkan dengan nada lembut seraya mengulas senyum manis, senyuman yang selalu bisa membuat Reno luluh. Tangan halusnya mengusap lembut pipi Reno yang penuh brewok tipis dan kembali berucap, “Sudahi saja ya, marahnya? Tugas kita sebagai orang tua sudah cukup untuk membela Samantha. Sekarang, biarkan dia menentukan pilihan dalam hidupnya, tanpa campur tangan kita lagi.”

Hening.

Isak tangis tidak lagi terdengar dari mulut Samantha, sementara Sadewa sedari tadi tercengang mendengar penuturan calon mama mertua. Setiap kalimat yang diucapkan wanita itu selalu bisa menenangkan dan membuat siapa pun luluh. Termasuk Reno.

Sejurus kemudian, dengkusan memecah kesunyian. Ekspresi Reno sudah tak semenyeramkan seperti sebelumnya. Kalau istrinya sudah turun tangan, ia tak bisa berbuat banyak. Hatinya yang semulau sekeras baja, seketika luluh bak dipanaskan dengan tungku api yang membara. Ia menatap Sadewa dan Samantha dengan lamat-lamat, kemudian mengembuskan napas berat dan berucap, “Saya kasih kamu satu kesempatan, jika kamu berani menyakiti anak saya lagi, maka hubungan kalian jadi taruhannya.”

💦

Gila! Deg-degan banget ngetik part ini. Berpikir  keras, memposisikan diri sebagai seorang papa yang membela anaknya, mama yang bersikap netral, Sadewa yang menyesali perbuatan dan Samantha yang berjuang mati-matian.

Maaf, kalo kurang nge-feel.

💦

Published:
17 Desember 2020

Love,

Max
.
.

Klik 🌟, ya!

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang