36. Issue

3.2K 277 148
                                    

Vote & Comment, please.

♣️♣️♣️

Guys, menurut kalian, kenapa Jessi sama Daffa bisa senekat itu?” tanya Shanum di sela-sela kunyahan tempe crispy yang masih hangat. Hari berjalan normal, usai pelaksanaan try out, mereka pergi ke kantin untuk mengisi perut yang lapar, setelah ini akan dilanjutkan kegiatan belajar guna memfokuskan pada mata pelajaran ujian nasional.

Qiana menyambar es teh sepupunya itu lalu diseruputnya dengan tegukan besar. Sontak, Shanum melotot tajam melihat tingkah laku Qiana yang selalu saja membuatnya kesal. “Jangan lo abisin minuman gue!”

“Aduuh!” Qiana mengaduh saat keningnya dijitak Shanum, kemudian ia mendesis sebal. “Dasar sepupu durhaka! Gue kutuk lo jadi biri-biri!” ujarnya yang mengundang tawa bagi Jazzila dan Vanilla, sementara Samantha absen. “Dari awal gue udah tau, kalo tuh anak terobsesi banget sama Dewa,” lanjut Qiana seraya mencebikkan bibir.

Jazzila mengangguk setuju, tangan kanannya membatasi buku latihan soal, kemudian ia menatap teman-temannya. Jarang-jarang, seorang Jazzila berminat gabung dalam obrolan gosip, tapi menurutnya kasus ini sangat keterlaluan, karena melibatkan sahabatnya; Samantha. “Kalau gue gak salah lihat, bukannya Jessi tuh selalu lihatin Dewa yang lagi latihan basket, terus nyelenong masuk ke lapangan cuma buat kasih minuman sama handuk, kan?”

Gebrakkan meja di kantin membuat semua perhatian mengarah pada Qiana. Gadis bersuara nyaring itu menunjuk Jazzila beberapa kali dengan gelora semangat 45. “Lo bener, no debat!”

“Eh, gue pernah lihat nih, waktu Dewa dihukum Pak Broto karena telat masuk sekolah, Jessi keluar kelas cuma untuk lihat dia yang lagi berdiri di lapangan sambil hormat ke arah bendera. Lagi-lagi, Jessi bawain handuk dan minuman untuk Dewa! Sumpah, caper banget! Ewhh!” ujar Shanum sambil bergidik. Ia heran, kenapa seorang perempuan bisa berani secara terang-terangan menunjukkan perasaan pada gebetannya. Sedangkan Shanum, jangankan menunjukkan rasa suka, baru didekati Senja saja ia sudah kesal. Terlebih saat ini ada dua hati yang membuatnya kebingungan untuk menentukan pilihan; Senja atau Gama.

Vanilla yang sedari tadi diam seraya menyesap cappuchino hangatnya, kini ikut bersuara. “Menurut gue, di acara pensi Dies Natalis kemarin ... Jessi sengaja ungkapin perasaannya lewat lagu yang dia nyanyiin.”

“Nah, iya, bener! Kemarin gue sempet nguping obrolan Awan sama Senja, kalo Jessi tuh udah nembak Dewa!” Qiana menyahut dengan menggebu-gebu. Meskipun centil dengan Rajendra, namun ia pun tak sudi bertingkah seperti Jessi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan cintanya. “Cinta yang dimiliki Jessi tuh, cinta gila.”

Bukankah benar kata pepatah? Orang yang sedang jatuh cinta sulit untuk mengendalikan logikanya? Karena, yang dipikirkan hanya tentang bagaimana cara mendapatkan hati orang yang dicintainya.

Tapi, cinta tidak boleh dinodai dengan rasa benci dan obsesi, kan? Bukankah cinta seharusnya mengasihi dan mengikhlaskan? Tindakan Jessica yang katanya karena ‘cinta’ tak bisa dibenarkan.

Obrolan pun berlanjut. Tiba-tiba, dua pentolan sekolah kini bergabung dengan santainya, tanpa memedulikan respons Shanum yang terlihat sangat keberatan. “Gue gak bayangin gimana hancurnya Dewa,” gumam Senja, tatapannya terpaku pada Shanum yang duduk di hadapannya.

Rajendra menyantap tempe crispy yang tersisa dua buah, lalu melahapnya dalam sekali gigitan. Mulutnya yang penuh tempe itu, membuatnya sulit bicara. Lantas, ia menyerobot minuman milik Jazzila dan menenggaknya hingga habis. Kontan, Jazzila pun mendengkus kesal, karena jus mangga itu merupakan favoritnya, dan butuh waktu lama untuk memesan, mengingat lapak Pak Mantor selalu dipenuhi pembeli. “Semua orang punya masalah masing-masing. Tinggal bagaimana kita bisa mengontrol rasa sakit itu,” ujar Rajendra. “Tapi, kenapa Jessi sebegitu terobsesinya sama Dewa, ya? Padahal dia tau, Dewa kan ... bekas mantan pacar kakaknya.”

Helaan napas berat diembuskan oleh Vanilla yang duduk di sisi kiri Rajendra, kemudian ia menyandarkan punggung di bangku panjang dan menatap nanar ke arah depan. “Namanya juga cinta. Kita gak bisa memaksakan kehendak siapa pun untuk jatuh cinta atau tidak boleh jatuh cinta. Itu hak asasi manusia, semua orang bebas merasakan cinta. Begitu juga dengan Jessi. Hanya saja, cara dia mengungkap perasaannya itu salah.”

Semua terperangah mendengar ucapan Vanilla, pasalnya gadis itu terkenal pendiam dan jarang bicara. Namun, sekalinya bicara bisa bijak juga. Andai saat ini Awan bersama mereka, sudah pasti cowok itu langsung menembak gadis pujaan hatinya. Semua termenung dengan pikiran masing-masing, lantas Qiana mengusulkan untuk menjenguk Sadewa yang masih terbaring di rumah sakit. Hal ini pun disetujui oleh mereka.

♣️♣️♣️

Published:
8 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang