31. The nightmare has begun

669 72 59
                                    

Vote & Comment, please.

♣️♣️♣️

“Sayang, bangun ... Mama sama adik di sini, menunggu kamu untuk kembali,” gusar seorang ibu ditemani si bungsu yang terisak menatap anak sulungnya terbaring lemah di atas ranjang. Perban membalut kepala dan tangan kiri si sulung yang mengalami retak tulang, serta selang oksigen dan infus sebagai alat bantu melewati masa kritisnya. Mimpi buruk itu terjadi dua hari yang lalu. Kenyataan pahit terpaksa dialami Sindy saat mengetahui kedua anaknya menjadi sasaran empuk dari insiden yang mengerikan. Untungnya si bungsu cepat sadar, meskipun gadis itu harus mengalami mimpi buruk yang mengubah hidupnya 180 derajat.

Hingga sore hari ini, tiba-tiba sebuah keajaiban datang. Jari-jari lemah lelaki itu bergerak saat merasakan kehangatan genggaman mamanya. “Mom?” panggilnya dengan mulut terhalang selang oksigen. Sadewa mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengumpulkan kesadarannya dari efek bius. Ia menoleh, mendapati mama dan adik perempuannya duduk di sebelah ranjangnya.

Suara berat itu membuat jantung Sindy berdebar, lantas ia mendongak dan menatap anak sulungnya dengan haru, karena berhasil berjuang melewati masa kritis. “Dewa? Akhirnya kamu sadar, Nak,” ucapnya sambil menciumi tangan anaknya yang masih lemah tak berdaya. “Jangan banyak gerak dulu.” Sindy menahan tangan Sadewa saat hendak melepas selang oksigen, namun cowok itu tetap melepaskannya dan beringsut duduk.

Pandangannya berpendar ke penjuru ruangan, kemudian berakhir pada kursi roda yang diduduki Lala. “La, kamu kenapa duduk di situ?” tanya Sadewa. Kontan, pertanyaannya menimbulkan tangis yang pecah di antara Sindy dan Lala. Gadis yang duduk di bangku kelas IX itu menangis tiada henti, tak sanggup menjawab pertanyaan sang Kakak.

Sindy pun memeluk anak bungsung dari samping, berusaha menenangkannya. “Dokter bilang kecelakaan yang kalian alami berdampak fatal pada Lala.” Sindy menjeda seraya menghapus air matanya. Lalu menatap Sadewa dengan kalut, tak sampai hati untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpa putrinya itu  “Lala divonis lumpuh seumur hidup.”

Bak petir di siang bolong, hati Sadewa mencelos. Tak ada satu pun kata yang sanggup diucapkan. Sadewa melepas infus di pergelangan tangannya, menuruni ranjang dan berjongkok di hadapan Lala. “Lala? Maafin kakak, ya, sayang,” lirihnya dengan raut wajah yang kacau. Matanya memerah dan bibir bergetar. “Kakak bodoh! Kakak gak bisa jagain kamu!”

Lala menangis sejadi-jadinya melihat Sadewa terus menyakiti dan menyalahkan diri sendiri atas apa yang ia alami. “Jangan pukul kepala Kakak! Kakak masih sakit! Nanti kalo Kak Dewa kenapa-napa, Lala sendirian lagi! Lala gak mau kehilangan Kakak!” isaknya sambil menahan tangan Sadewa. Namun, cowok itu masih memukuli kepala sambil berteriak meraung-raung. Untung saja ia berada di kamar kelas 1, jadi tidak akan ada pasien lain yang merasa terganggu dengan teriakkannya.

Sadewa menggeleng, menatap Lala dengan sorot penuh penyesalan, kemudian menciumi tangannya beberapa kali, memohon ampun kepada gadis kecil yang masih duduk di bangku SMP itu untuk dapat mengampuni. Karena dirinya-lah, sang adik harus menerima nasib buruk sepanjang hidupnya. “Maaf ....” Lala mengangguk, dihapusnya air mata yang membasahi wajah sang kakak dengan ibu jarinya.

Sadewa menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang berkecamuk. Lantas, ia menoleh dan menatap sang mama. “Mom, Bella mana?” tanyanya. Bukannya menjawab, Sindy justru terdiam dan mengalihkan pandangan ke sudut ruangan. “Jawab Dewa, Ma! Bella mana?!” tanyanya lagi dengan intonasi tinggi dan suara parau. Merasa tak mendapat respons, Sadewa memutuskan keluar dari ruang rawat inapnya.

“Dewa! Kamu mau ke mana?!” Sindy berteriak, berlari mengikuti Sadewa dan meninggalkan Lala seorang diri.

Sadewa berusaha sekuat tenaga untuk berjalan, meski sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa. Ia mengedarkan pandangan, menoleh ke sana kemari, mencari tim medis; perawat atau dokter yang berjaga. Namun, yang dilihatnya adalah pasien atau pengunjung di lorong rumah sakit itu.

Ketika berbelok ke kiri, Sadewa menemukan meja siaga sebagai pusat tempat perawat dan dokter bekumpul. Lantas, ia mempercepat langkah dan menghampiri dokter yang sedang berbincang dengan salah satu perawat perempuan berjilbab putih, membahas mengenai kondisi pasien yang ditanganinya.

“Dok, Bella mana?!” Sadewa menginterupsi. Dokter Vino berbalik menatap Sadewa tanpa mengucap sepatah kata. Ia melirik pergelangan tangan cowok itu yang berdarah, akibat melepas infus asal-asalan, lantas ia mendesah berat seraya melepas kacamata kotaknya. “Jawab saya, Dok! Pacar saya mana?!”

Dokter Vino masih diam. Pandangannya beralih menatap Sindy yang kini berdiri di belakang Sadewa dengan napas terengah-engah. Wanita itu menggeleng pelan, memberi isyarat agar tidak memberitahu Sadewa tentang kondisi Bella.

“Dokter dengar saya, gak?! Dokter budeg, ya?! Saya tanya, pacar saya mana?!” Suara Sadewa makin terdengar menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Semua orang yang lalu lalang menatap iba ke arah Sadewa yang tampak sangat menyedihkan.

“Sebaiknya kamu kembali ke kamar,” titah Dokter Vino, kemudian menyuruh para perawat yang berjaga untuk mengantarkan Sadewa. Namun, cekalan dua perawat tersebut dihempaskan dengan kasar, dan Sadewa menarik kerah jas putih dokter itu tanpa rasa takut sedikit pun. “Jawab gue! Pacar gue mana?!”

“Saya gak budeg, jadi kamu gak usah bentak-bentak saya.” Dokter Vino masih bersabar menghadapi perilaku Sadewa yang sangat tidak sopan. Ia melepas cekalan tangan kanan Sadewa dengan satu gerakkan, kemudian menatap Sindy yang kini mengangguk lemah padanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia terpaksa mengiakan permintaan sang pasien. “Ikut saya.”

♣️♣️♣️

Published:
5 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang