PART 3 | FIRST TALK

129 15 0
                                    

Untuk pertama kalinya aku yang seperti ini mencoba berbicara dengan orang yang tidak pernah kukenal sama sekali

_________________________________

Rewrite Our Memoriesー

우리의 추억을 다시 쓰다

_________________________________

Terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan kenyataan. Seberusaha apapun kita mengaturnya, merencanakannya, bahkan membuat daftar terhadap impian kita namun tidak seutuhnya berjalan lancar nyatanya harapan selalu berbanding terbalik dengan sebuah kenyataan.

Dan parahnya, sebagai manusia kita dituntut untuk bertanggungjawab, bahkan menghadapi kenyataan-kenyataan terburuk yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

"Hmm... cukup parah."

Hyeong Jin memiringkan kepala seraya mengangkat sebelah alis penuh kemenangan. Beruntung, ingin rasanya laki-laki itu berteriak dalam hati. Mungkin halaman rumahnya masih kotor seperti tadi pagi, mungkin dirinya harus berkutat dengan naskah ini sedari awal dan yah... banyak lagi maslaah lainnya.

Hanya saja melihat editor Kim seperti ini seakan ada rasa lega sekaligus senang di dalam hatinya. Setidaknya telinganya akan selamat dari teriakan pria paruh baya tersebut.

Pria paruh baya itu mengangkat kepala, beralih dari fokusnya pada naskah. "Kau benar-benar tidak ada salinannya lagi?"

Di balik ruangan putih berukuran kecil itu Hyeong Jun menggeleng. Puluhan karyawan seolah berlalu lalang melewati jalan ruangan editor yang seperti labirin begitu juga dengan suara antara jari dan keyboard yang saling beradu cepat. "Aniyo."

"Ck!" Editor Kim berdecak, mengacak belakang rambut dengan gusar. Ditelungkuokannya kepala ke atas keyboard komputer tersebut sedikit frustasi begitu menerima fakta ini.

Tanpa Hyeong Jin sadari, gadis pengantar susu yang duduk di sebelahnya kini menoleh. Hyeong Jin yang tampak begitu tenang, baik itu dari dadanya yang naik turun dengan stabil begitu juga dengan sorot matanya yang seperti tadi pagi, tanpa ekspresi.

Merasa ada yang memerhatikan, Hyeong Jin mengangkat sebelah alis, gadis itu tertangkap basah tengah memerhatikannya. "Wae?"

Bitna menggeleng.

"Kalau kau haus atau lapar bilang saja padaku," ucap Hyeong Jin dijawab dengan anggukan prlan dari gadis itu.

"Hei Henji," Suara bass editor Kim terdengar lemah. Laki-laki yang begitu bersemangat itu seolah kini menjadi sebaliknya. Padahal Hyeong Jin berani bertaruh mungkin akan ada banyak lagi naskah yang diedit pria itu.

"Hm?" gumam Hyeong Jin.

Pria itu mengangkat kepala, dengan sorot mata sayu begitu juga dengan alis menunjukkan rasa kasihan. "Apa kau tidak sedih melihat kondisi naskahmu hah?"

Sedih? Hyeong Jin mengembus napas panjang, memasukkan tangan kembali ke dalam saku celana seraya bersandar, mencoba untuk tenang kembali.

Bohong jika dirinya berkata bahwa ia tidak sedih. Hal itu sebenarnya wajar saja terjadi. Apalagi mengingat perjuangan kita ketika menyelesaikannya, tidak tidur semalaman, bolak-balik mengitari setiap sudut rumah demi mencari sebuah ide, belum lagi bila ada masalah pada listrik di apartemennya itu.

Belum sempat Hyeong Jin menjawab, pandangan editor Kim kini beralih ke arah gadis si pengantar susu. "Hei gadis kecil, kau tau kan kekacauan apa yang sedang terjadi."

Hyeong Jin menoleh. Tampak gadis itu menunduk, lalu mengangguk pelan seraya mencengkram ujung kaosnya dengan erat. "Maafkan saya."

Bukannya semakin baik, pria itu seolah semakin gusar. Lihat saja pria itu membuka tutup botol air mineralnya seraya meneguk satu botol tersebut dalam sekali napas. Berhasil mengahbiskannya, pria itu menghentakkan botol ke meja dengan kesal, sugguh tampak uring-uringan.

Diam-diam Hyeong Jin mengernyit. Bukankah yang punya naskah itu dirinya? Tapi kenapa posisinya dengan pria itu seolah seperti sebaliknya? Mungkinkah si penulis cerita ini tengah melakukan kesalahan?

Pria paruh baya itu memijit pelipis dengan kuat, seraya mengancungkan jari telunjuknya ke arah gadis pengantar susu. "Aku maafkan. Tapi jauh lebih bagus jika kata maafmu dapat memperbaiki semuanya."

Gadis itu semakin menunduk. Mungkin bukan ketakutan namun Hyeong Jin pikir gadis itu jauh terlihat cemas dan merasa bersalah hingga membuat tubuh kecil itu bergetar.

Tak ingin memperumit masalah. Hyrong Jin berdehem, menarik napas sedalamnya berusaha mungkin terlihat tenang. "Tidak masalah editor Kim. Meskipun naskahku terpaksa berakhir ini tapi setelah kupikir itu tidak seutuhnya menjadi salahnya."

Kedua alis editor Kim terangkat, pria paruh baya itu duduk di kursi putar dengan malas sesekali menatap jengah pada layar komputernya.

Hyeong Jin menunduk, mencrngkram kedua lutut dengan erat. "Salahku yang tidak bisa memprediksi semua hal ini terlebih dahulu. Harusnya kuletakkan juga berkas itu di komputer atau di aplikasi lain dan untuk masalah naskah baruku seharusnya aku mengirim editor Kim satu per satu bab yang telah aku selesaikan bukan langsung hingga final."

"Hmm..." jawab pria dengan model kemeja yang sedang tren untuk pria berumur 40 tahunan itu. Di ambilnya topi seperti topi orlukis berwarna cokelat gelap lalu bangkit dari kursi putar kecilnya. "Suasana hatiku benar-benar buruk, apa kalian berdua ingin minun sake?"

Hyeong Jin menolak, begitu dengan Bitna yang menggeleng dengan cepat.

Perlahan, sebelah sudut bibir Hyeong Jin terangkat memerhatikan gadis itu dengan puas. Entah karena gadis itu segan terhadap tawaran editor Kim atau memang karena tidak minum minuman beralkohol seperti itu namun yang pasti gadis itu mempunya satu penikiran dengannya.

"Maaf editor Kim, selain aku tidak begitu menyukai minuman tersebut, aku juga ingin menyelesaikan naskahku sekarang. Bukankah itu jauh lebih penting dibandingkan menuruti kata hatimu? Kau sedang banyak naskah yang harus diedit bukan?"

Pria paruh baya itu mengangguk pelan, kembali membenamkan wajah di meja.

"Aku pulang dulu editor Kim. Gunakanlah waktumu seefektif dan efisien mungkin, jangan menunda deadline kalau kau tidak ingin diberhentikan oleh atasanmu," ucap Hyeong Jin, secepat mungkin ia menarik lengan jenjang gadis pengantar susu tersebut keluar dari kantor sebelum editor Kim kembali mengamuk.

Pintu ditutup, kini keduanya berdiri di depan pintu. Dan benar, kedua orang itu tertawa pelan begitu suara bass pak tua itu terdengar begitu murka dari dalam ruangan.

"Yak Henji! Harusnya aku yang menasihatimu seperti itu si pengulur waktu! Jika kau berani berbalik ke kantor seminggu lagi lihat saja aku tidak akan memberimu ampun!"

Rewrite Our Memories [K-Lit] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang