PART 40 | DON'T GO

31 1 0
                                    

Jangan pergi terlalu cepat, biarkan semuanya berjalan pelan. Rasa sakit itu, rasa sedih itu, biarkan semuanya kita hadapi bersama.

___

 "Young Bi, kau sedang apa?" 

Lee Young Bi, anak berusia enam belas tahun itu mengangkat kepala, dirinya yang sedari jam pelajaran tadi tengah sibuk dengan buku tulis di hadapannya kini terpaksa mengusaikan kegiatan begitu seorang guru berbicara padanya ketika usai jam pelajaran. Young Bi menyengir, memerhatikan pria paruh baya sebagai guru sastranya itu. "Hanya menulis apa yang ingin kutulis." 

"Ah," Pria paruh baya, atau guru Kim tersebut mengangguk pelan seraya menyusun buku latihan para murid yang sudah terkumpul di mejanya. "Kau tertarik dengan dunia kepenulisan?" 

Bibir bawah Young Bi terangkat, berpikir seraya melakukan swing pen pada kelima jarinya. "Tidak juga, tapi aku hanya ingin menulis, rasanya menyenangkan sekali. Jauh lebih menyenangkan dari apapun, bahkan terasa lebih menyenangkan dibandingkan bermain dengan teman-temanku." 

"Kau mulai tertarik berarti ya?" tanya guru Kim tersenyum miring. Diambilnya tas di meja guru begitu juga dengan buku dan bangkit. 

"Iya," Young Bi mengangguk semangat, anak yang memang sellau terlihat ceria itu kini semakin tampak bersinar. Disambarnya tas sandang hitam, buku tulis, lalu bangkit dari bangku, keluar dari kelas bersama guru Kim. sekolah tampak sepi, matahari menyorotkan sinar senjanya berhasil membuat sore semakin sunyi. 

Pemilik sepatu hitam Young Bi melangkah, menyusuri koridor kelas, berjalan bersama guru Kim. "Aku sangat tertarik, aku mulai berpikir sepertinya menulis ada sebagian dari jiwaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika aku melepaskan kegiatan seperti ini, pasti menyakitkan sekali." 

"Baiklah baiklah aku mengerti," ucap guru Kim tersenyum puas, lalu tertawa melirik muridnya. "Sepertinya sebentar lagi aku juga akan berhenti mengajar dan melanjutkan impianku dari dulu." 

Langkah Young Bi terhenti seketika, alis tebal itu terangkat, seraya memerhatikan guru Kim dengan heran. "Guru Kim punya impian juga?" 

"Yak kau!" Mata guru Kim membulat seketika namun emosi itu mereda seketika begitu memerhatikan sorot mata polos dari anak didiknya. Benar-benar keterlaluan. "Aku ingin menjadi editor. Meskipun sudah tua, aku masih mempunyai harapan yang ingin diwujudkan. Manusia bisa bertahan hidup karena ada harapan. Karena ada harapan manusia berjuang untuk meraihnya dan berusaha mungkin berjalan di jalan yang mereka anggap terbaik."

Merasa ketinggalan, Young Bi melangkah cepat, berjalan sejajar bersama gurunya tersebut. "Tapi eomma sama appa-ku tidak mempunyai harapan." 

Suara helaan napass panjang terdengar, setengah memutar otak pria itu ingin menjelaskan namun bukankah begitu sulit menjelaskan antara sudut pandang dewasa dan masa muda anak-anak? "Ah... mungkin melakukan pekerjaan hingga menjadi yang terbaik adalah harapan kedua orangtuamu, atau mungkin mempunyai anak-anak seperti kalian juga harapan terbaik yang pernah mereka punya." 

"Sepertinya tidak," gumam Young Bi, namun secepat mungkin anak berseragam sekolah menengah atas itu menggeleng, menyengir, begitu si guru menatapnya dengan heran. "Oh ya, guru Kim, aku pamit dulu, sepertinya sekolah sebelah sudah pulang. Kasihan adikku sudah menunggu." 

"Tunggu!"

Belum sempat Young Bi melangkah lebih jauh, suara guru KIm memanggil. Berhasil membuat anak laki-laki itu terpaksa menoleh belakang. Guru Kim berjalan mendekat, mengulurkan sebelah tangan. "Boleh aku membaca sedikit ceritamu?" 

Rewrite Our Memories [K-Lit] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang