Yurina berada di sebuah lorong yang amat sepi, di depannya ia melihat seorang gadis menangis begitu histeris, gadis itu hampir saja terjatuh kalau tidak ada seorang gadis lain yang menahan tubuhnya.
"Yuuka.." lirih gadis itu menyebutkan nama seseorang yang sangat tidak asing di telinga Yurina.
Kini pandangannya teralihkan pada suara ranjang pasien yang di dorong keluar dari salah satu ruangan, Yurina kini menyadari bahwa dirinya ada di rumah sakit, entah sejak kapan.
Begitu ranjang itu berhenti di depan dua gadis tadi, seorang itu semakin meraung-raung tangisnya. Ia meneriaki 'ayah.. ayah!' Dengan penuh kesedihan.
".... y-!" Suara Yurina tidak dapat keluar ketika mengetahui bahwa gadis yang kini tersungkur di lantai itu adalah Yuuka. "..Y-!!!"
Yuuka terus menangis di pelukan gadis lain yang tidak ia kenal, "Bagaimana sekarang kita .. Neru?"
"... hutang ayah .. bagaimana kita bisa selesaikan ini semua?" Lanjut Yuuka dengan sangat histeris, "... kita akan bangkrut dan jatuh miskin!"
Mendengar itu Yurina seperti tersentak kaget dan kemudian membuka matanya. Sinar matahari telah memaksa masuk melewati jendela walau sedikit terhalang oleh tirai.
Mimpi apa barusan?
Kenapa mimpinya sangat berbeda?Yurina bangun dengan jantung berdebar. Di otaknya timbul berbagai pertanyaan soal mimpi yang terasa sangat nyata baginya itu. Kini ia telah membasuh mukanya dan menatap dirinya di cermin.
"Hei, dimana Sugai Yuuka?" Yurina menoleh pada seorang teman sekelasnya yang menanyakan keadaan Yuuka karena kursinya kosong.
"Oh, kata Ishimori-sensei, dia absen. Entah kenapa, aku gak tahu." Jawab sang ketua kelas ketika di tanya.
Tak lama, seorang menibrung mereka. "Ku dengar ayahnya semakin parah loh."
"Sakit apa sih?"
"Enggak tahu." Seseorang itu menindik bahu, "yang tahu cuma Saito Fuyuka saja tuh!"
***
Fuyuka baru saja kembali setelah menebus obat yang dia dapatkan untuk adiknya namun di tengah jalan, ia bertemu dengan dua gadis yang tidak lagi asing baginya. Sugai Yuuka dan Nagahama Neru.
"Hei, selamat pagi, Yuuka, Neru-san!" Fuyuka tersenyum sangat ramah pada mereka walau matanya menatap Yuuka yang merasa tak nyaman dengan kehadirannya.
Fuyuka tahu bahwa Yuuka berusaha menutup-nutupi perihal ayahnya yang sakit parah dan harus di rawat di rumah sakit. Lebih dari itu, Fuyuka juga tahu kalau kini perusahaan keluarga Yuuka sedang diambang kehancuran, itu karena ia tidak sengaja mendengar percakapannya dengan Neru disini.
"Pagi, Fuyuka. Kenapa tidak sekolah?"
"Oh. Aku habis menebus obat untuk adikku," Jawab Fuyuka kala Neru bertanya. "Kalian mau menjenguk ayah kalian?"
"Umm.. kebetulan ada seseorang yang ingin bertemu dengan kami." Jawab Neru dengan nada sangat ramah.
"Ahh.." Fuyuka mengangguk, "ngomong-ngomong .. boleh aku bicara dengan Yuuka sebentar?"
"Eh?" Yuuka mendongak namun dia tidak juga menolak. Ia terlalu takut untuk menolak dan berkata pada Neru bahwa Fuyuka bukanlah temannya.
Kini Yuuka menunduk berhadapan dengan Fuyuka, jantungnya berdebar hebat seperti sedang bermain jet coaster, beberapa kali Fuyuka melihatnya mendesah.
"Kakak tirimu baik ya." Ucap Fuyuka basa-basi. Ia melirik Yuuka yang ketakutan kemudian dia mendesah.
"Santai. Aku tidak akan meminta uang darimu lagi kok," kata Fuyuka datar. Malah sebaliknya, gadis itu merogoh kantong jaket ya dan memberikan kembali uang Yuuka yang kemarin.
"U-uh, ini?"
"Aku gak jadi pinjam," ucap Fuyuka, "Jadi kamu ambil kembali uangmu dan jangan katakan apapun soal ini."
Dengan ragu Yuuka mengambil lagi uangnya. Ia mengulum bibir saat Fuyuka menepuk pundaknya, merasa was-was. Jujur, Fuyuka sendiri tidak tahu kenapa mau bersikap seperti ini pada gadis kaya yang pendiam itu.
"Aku duluan ya. Aku titip salam untuk ayahmu,"
"U-uh.. terima kasih." Yuuka melihat Fuyuka berbalik dan menjauhinya. Yuuka menatap lembarang uang tersebut dengan perasaan berkecamuk. Pikirannya dihujami begitu banyak pertanyaan.
Sementara Yurina sendiri terlihat memijat pelipisnya. Ia sakit kepala setelah seharian tidak bisa tidur. Bagaimana dia bisa tidur kalau kenyataan terasa sangat menyakitkan seperti ini?
Hidup bagaikan puteri yang mampu mendapatkan apapun dengan hanya sekali tunjuk akan berakhir. Yuuka harus bisa membiasakan diri untuk berada di kondisi ini, semua uang telah habis demi pengobatan sang ayah, bahkan sampai mengikis beberapa cabang perusahaan untuk mendapatkan uang.
"Hah.. bagaimana ini.." dia berjongkok disana , merasa sakit tak kunjung henti menyesakan dadanya.
***
"Kemari kau!" Yui berusaha sebisa mungkin untuk mengelak. Tapi dua lawan satu? Ia tidak dapat berharap banyak. Tubuhnya terhempas masuk ke dalam tempat yang amat sempit, kalau mau tahu pun dia sudah menangis dan meronta-ronta.
Tapi dua manusia yang bagaikan iblis ini tak punya sedikit hati nurani untuk berhenti menyiksanya. Yui dimasukan paksa ke dalam sebuah loker.
"Biar mampus kau!" Seru seorang gadis dengan kesal, "sudah ku perintahkan untuk mundur namun kau tak ingin mendengarnya, sekarang rasakan itu, kau pecundang!"
Yang lain tertawa, "sampai bertemu sepulang sekolah, Koba. Itupun kalau kami gak lupa soal kamu, hahahaha!!!"
Yui meringis kesakitan. Sebelum memasukannya, ia sempat di dorong hingga tersungkur. Kakinya terluka cukup parah, beberapa luka lecet mengucurkan darahnya.
Yui tahu percuma juga dia berteriak minta tolong. Tidak akan ada satupun yang mempedulikan dirinya, karena memang itulah kenyataannya. Semua tatapan itu hanya terkesan mengasiani namun mereka terlalu takut untuk ikut campur.
Apakah Yui bisa bertahan? Dirinya sendiri tak yakin. Dia harus tetap tenang agar oksigen di dalam loker tidak cepat habis. Walaupun begitu ia harus bisa keluar, kan? Jam pelajaran akan segera dimulai dan ia tak boleh melewatkan materi apapun.
Ia mencoba menendang pintu dari dalam, membuat suara nyaring agar siapapun bisa menyadari kehadirannya. Toh, kalau ada orang yang masih punya hati nurani, orang itu akan berlari mencari pertolongan. Kalau ada.
Namun sudah sampai selama ini, Yui tak mendengar suara apapun selain tendangannya di pintu. Ia merasa pintu itu akan hancur sendirinya. Ia berusaha kembali menendang walau kakinya terasa sakit. Yui menarik nafas.
Karena berusaha menendang dari dalam, ia jadi mengeluarkan banyak tenaga, apalagi posisinya sangat sempit dan ia mulai lelah berdiri. Ia mendorong walau dengan tenaga yang tersisa.
"Tolong aku... siapapun! Tolong!" Teriak Yui pasrah. Keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, ia merasa sulit bernafas.
"Kobayashi?"
Ia dapat mendengar suara seseorang dari luar. Apakah ia berhasil membuat seseorang menyadari kehadirannya? Ia merasakan tubuhnya oleng dan terjatuh pada dekapan seseorang.
"Kobayashi!"
"Koba..."
Yurina berjalan di tengah koridor dengan perasaan gundah. Kenapa ia memiliki perasaan buruk terhadap Yuuka? Dia mendesah, namun tak lama ia mendengar derap langkah kaki.
Ishimori-sensei?
Dia menggendong Kobayashi Yui?
"Hi-hirate!"
Yurina langsung berlari ke arah mereka, "apa yang terjadi?"
"Tolong ke ruang guru dan bilang kalau Kobayashi pingsan ! Segera!"
Yurina segera mengangguk dan berlari ke ruang guru.
/Black Sheep/