Aku tidak pernah tahu dimana aku berada. Tiap kali aku membuka mata, aku selalu berada di ruangan tak berujung berwarna putih. Tak ada siapapun. Hanya aku dan cuma aku. Sampai kapan aku harus terjebak disini?
Walaupun begitu, terkadang aku bisa merasakan sesuatu yang hangat memelukku atau samar-samar mendengar suara orang memanggil namaku. Kadang saat itu terjadi, aku akan berdiri dan berlari sesuai naluriku berkata.
Tapi seberapa cepat aku berlari, seberapa lama aku habisi, semua yang ada di depanku hanyalah ruang kosong yang tak akan ada habisnya. Aku menarik nafas panjang. Apa selamanya aku akan ada disini?
"Wah, ternyata masih disini ya?"
Aku menoleh ke arah anak kecil di belakangku. Itu aku, aku pada saat masih kecil. Dia terlihat lebih rapi dengan senyum yang terasa dingin untuk anak seumuran itu. "Kau.."
"Ku pikir kamu harusnya sudah pergi dan tempat ini menghilang."
"Memangnya dimana ini?"
"Alam bawah sadarmu?"
Apa?
Alam bawah sadar?
Alam bawah sadarku?
"Disinilah aku berasal, siapa sangka ternyata kamu juga berada disini." Yurina kecil menindikan bahunya. Dia benar-benar bocah yang berlagak dewasa. Tapi kemudian kami saling berpandangan.
"Bungamu hilang."
"Huh?"
Aku mengelihat ke sekeliling. Bunga? Bunga apa yang dia maksud? Ah-- bunga itu! Bunga lili merah! Yang aku ingat dia memberikan bunga itu pada saat aku jatuh. Tapi, kemana bunga itu pergi sekarang?
"Ternyata memang benar. Kamu masih diharapkan."
"Huh?"
Tangan anak itu kemudian terjulur di hadapan Yurina yang terduduk. "Ayo, kita kembali!"
***
Sebuah mobil sedan hitam berlaju di jalanan kota dengan dua penumpang yang terlihat menikmati perjalanannya. Mereka adalah Ishimori Nijika dan Kobayashi Yui.
"Kamu akan ke tempat Yurina lagi?"
"Tentu saja."
Nijika menatapnya sebentar lalu memalingkannya lagi, "Kenapa kamu melakukan ini semua?"
"Huh?"
"Kamu menyisihkan pendapatanmu sebagai artis untuk membiayai Yurina selama ini, tentu walau dengan bantuan dokter Nagahama. Aku penasaran, sebenarnya kenapa kamu melakukan semua ini?"
Alih-alih menjawab serius, Yui malah tertawa. "Apa ada yang lucu? Aku serius loh!"
"Maaf, maaf! Tapi bagiku, Yurinalah yang membuatku seperti ini.. tanpa dia, aku tidak akan menjadi seperti sekarang." Yui menutup matanya dan bersandar. Ingatannya terbuka pada saat dia masih kecil dulu.
Lahir dari keluarga kaya memang menjadi idaman semua anak dan Yui menjadi salah satu dari keluarga yang selalu diidam-idamkannya itu. Semua kebutuhanmu terpenuhi tanpa harus memikirkan darimana semuanya datang. Hanya memikirkan kesenangan akan diri sendiri.
Hidupnya amat bahagia sampai ia menginjak kelulusan di SMP, saat ia pulang dari sekolah. Ia melihat pria menampar istrinya sendiri. Mereka bahkan sempat berteriak dan memaki satu sama lain.
Dari sana, Yui menyadari satu hal, keluarga impiannya hancur berantakan.
Ayah Yui terbelit hutang hingga harus bangkrut untuk menutupi semuanya. Ia bahkan tak bekerja selama satu tahun dan mengandalkan uang simpanan keluarga. Ibunya sendiri bukan wanita yang mau diajak susah, ia selalu mendumel dan marah pada suaminya sendiri.