01.

708 70 13
                                    

Jatuh terhempas, disengaja.
Dengan jantung yang berdegup sangat kencang memacu ardenalin.
Keputus asaan yang benar-benar menghampakan hidup, dan
Rasa sakit saat bertemu dengan tanah terasa begitu sangat nyata.

Bruk!!!

Yurina lagi-lagi harus meringis kesakitan ketika bangun di bawah kasurnya. Sudah tiga hari semenjak mimpi itu muncul, mimpi yang entah bisa ia sebut mimpi buruk atau bukan.

Ia bermimpi bertemu dengan dirinya saat masih kecil, yang ia ingat mungkin berumur tujuh atau delapan tahun. Dia memberikan seikat bunga lili bewarna merah, yang dikenal sebagai Higanbana. Kemudian ia akan melihat dirinya sendiri terjatuh dari atas gedung dan dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans.

Rasanya mimpi itu sangat nyata, Yurina seolah bisa merasakan sakit terjatuh dari gedung setinggi itu. Mendadak ia merinding, ia segera mengusap keringat dinginnya.

"Yurina! Bangun!" Samar-samar ia mendengar teriakan sang ibu dari lantai bawah. Dia berdiri dan mendesah pelan, baiklah, kali ini dia sadar kalau ia harus melewati hari untuk kesekian kalinya.

Dengan seragam yang sudah lengkap, Yurina turun menghampiri keluarga kecilnya. Sang ibu dengan apron yang sudah penuh noda-noda dan sang ayah yang sedang membaca kabar pagi dari tabletnya.

"Pagi." Sapa Yurina pendek, seperti biasa. Ia duduk di kursi kosong, berhadapan dengan sang ayah. Tak lama sang ibu ikut duduk disebelah suaminya.

Mereka mulai makan setelah mengucap ittadakimasu secara bersamaan, mereka makan dalam hening, tidak ada yang membuka percakapanpun, lagi-lagi seperti biasa. Keheningan di keluarga seperti ini, bukankah agak aneh?

"Aku berangkat dulu." Ucap sang ayah begitu selesai dengan sarapannya dan meninggalkan kedua anggota keluarganya yang lain. Ah, lebih tepatnya meninggalkan seorang Yurina sendirian. Sang ibu dengan sigap menemani kepergian sang suami walau hanya di ambang pintu saja.

Yurina berhenti mengunyah, rasa miso yang biasanya terasa kaya itu kini hambar di mulutnya. Sang ibu terlihat musam kembali ke dapur, membereskan sisa - sisa makanannya.

"Kenapa kau diam? Kau mau telat hah?" Sang ibu mendengus sebal lalu mencuci piring, "lain kali, kau saja pergi lebih dulu ke sekolah. Kau merusak mood ayahmu bekerja tahu!"

Yurina menunduk, "aku mengerti."

"Lagipula aku masih tidak bisa berpikir, mengapa dengan mudahnya kamu memberikan kesempatan itu pada si anak dari Saitama itu!" Cibir sang ibu tanpa melirik Yurina di meja makan, "kalau saja kamu enggak sok kasih kesempatan ikut olimpiade itu, pasti ayahmu gak akan malu membanggakan kamu ke semua teman kerjanya!"

Yurina mendesah pelan lalu beranjak pergi ke genkan, ia mengambil sepatunya kemudian membuka pintu, "Aku pergi dulu,". Ia menutupnya dengan perasaan gundah, pagi ini, seperti biasa, ia selalu merasa bersalah.

Tumbuh di keluarga yang peduli dengan "pecitraan" membuat Yurina jengah, ia sungguh merasa seperti boneka orangtuanya. Ia menarik nafas, oke, dia tidak boleh menangis. Ia harus kuat.

***

"Oi, anak sok pintar."

Yui dengan ragu menoleh pada dua orang di depannya. Sungguh, ia tidak pernah berharap akan menjadi seperti ini. Ia pindah ke sekolah ini bukan ingin dijadikan bahan bully dan lolucon orang-orang. Ia cuma ingin belajar agar bisa membuktikan bahwa dia mampu dan bisa hidup dengan baik setelah lulus.

Tapi ternyata kenyataan tidak semulus ekspetasinya. Mendapatkan rekomendasi sekolah terkenal malah membuatnya dibully karena berasal dari keluarga yang tidak berada dan mengandalkan beasiswa. Apalagi saat cuma ia anak baru yang berhasil menjadi perwakilan olimpiade karena yang sebelumnya mengundurkan diri.

"Heh, kalo dipanggil tuh jawab!" Dua orang itu adalah rekan satu tim olimpiade yang Yui jalani, mereka tidak terima dengan kehadiran Yui di tim itu. Maka, mereka sebisa mungkin membuat Yui menyerah.

"Kau tak memanggil namaku.." cicit Yui namun masih dapat terdengar oleh dua orang itu. Makin murkalah mereka mendengar hal tersebut.

Tubuh ramping Yui harus terhempas ke loker di sampingnya. "Kau ngomong apa hah, anak miskin? Berani-beraninya kau..."

Yui mengigit bibir saat lehernya terasa sakit karena ditekan dengan lengan seorang dari mereka. Seorang dari mereka kemudian berbisik sesuatu hingga si pencekik melepaskan Yui.

"Kali ini kamu aman, anak miskin. Ayo, pergi.."

Yui segera mengambil pasokan oksigen yang sempat menipis di tubuhnya dengan terbatuk-batuk. Ia terjatuh ke lantai, rasanya ia benar-benar kehilangan harga dirinya, ia tak sanggup melawan mengingat statusnya.

Hingga suara sepatu pantofel yang khas berhenti di hadapannya. Ia mengadah, ah, gadis ini? Gadis itu dengan cepat menjulurkan tangannya, berniat membantu, tapi Yui begitu benci dengan gadis ini sehingga ia menepis bantuan gadis itu dengan kasar.

"Aku gak butuh bantuan dari orang macam kamu!" Serunya dengan penuh kebencian.

".. apa aku berbuat salah padamu?" Yui segera berhenti melangkah saat suara gadis itu terdengar. Ia sudah lama tidak mendengar suara gadis itu setelah hari itu.

Yui menoleh kebelakang, menatapnya tajam. Yui lagi-lagi mengigit bibir, "Kau pikir saja sendiri, Hirate-san." Lalu ia berjalan meninggalkan gadis itu sendirian.

***

Yurina duduk di salah satu kelas kosong. Dulunya, kelas ini digunakan untuk klub sastra tapi karena semakin lama sepi peminat, klubnya bubar dan kelas ini terbengkalai.

Biasanya Yurina menggunakan kelas ini kalau dia sedang banyak pikiran, contohnya sekarang. Ia menghembuskan nafasnya, berharap sesak di dadanya dapat hilang walau hanya sementara saja.

Dia tidak bermaksud membuat Kobayashi di titik seperti ini, ia merasa Kobayashi lebih membutuhkan posisi di olimpiade itu lebih daripadanya. Ia juga tidak ingin membuatnya rendah, ia tahu ia membutuhkan olimpiade itu agar dapat rekomendasi beasiswa lagi. Tapi, Yurina sepertinya melakukan kesalahan.

Krekk!!!

"O-oh maaf, ku pikir enggak ada orang!" Suara itu mengejutkan Yurina.

"Gak apa, aku juga sudah mau balik kok." Yurina turun dari tumpukan meja yang menjadi tempat duduknya dan menghampiri gadis pendek itu.

"Ahh," gadis itu terlihat terkejut melihat Yurina. "Kamu Hirate dari kelas 2-A kan?"

"Oh, kamu tahu aku?"

Gadis itu tertawa renyah, "siapa juga yang gak tahu kamu. Boleh kenalan?"

Yurina sebenarnya agak ragu, tapi gadis ini sepertinya tidak seperti anak-anak lain yang berteman hanya untuk keegoisan mereka masing-masing. Maka tangan kecil gadis itu berhasil ia jabat.

"Aku Koike Minami kelas 2-B. Salam kenal ya!"

"Iya salam kenal." Yurina tersenyum tipis. "Aku pergi dulu ya kalau begitu, sampai jumpa."

"U-um sampai jumpa!" Minami melambai-lambai dan segera mendesah setelah Yurina tak lagi terlihat. Ia merogoh kantong roknya dan mengeluarkan cutter . "Untung saja belum aku keluarkan.."

/Black Sheep/

Kuroi HitsujiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang