Nijika paham bahwa sesuatu yang tidak beres menimpa seorang muridnya, Kobayashi Yui yang kini terbaring lemah di dalam UKS. Dia tahu kalau Yui tidak mungkin bodoh untuk mengunci dirinya sendiri di dalam loker seperti tadi, pasti dilakukan secara sengaja oleh seseorang. Ia sangat yakin itu.
Kini perhatiannya teralihkan pada Yurina yang masuk ke dalam UKS bersamaan dengan perawat dan seorang guru lainnya.
"Ishimori-san. Apa yang terjadi?" Guru tersebut kelihatan bingung.
"Saya akan bicarakan ini di depan, Yurina tolong jaga sebentar ya." Yurina mengangguk sebelum kedua gurunya itu keluar dan membicarakan kejadian ini berdua. Yurina meraba tangan Yui yang penuh keringat, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Nijika telat menyelematkannya.
"Saya rasa sesuatu tidak beres pada lingkungan pertemanan Kobayashi, pak."
Guru laki-laki itu mengerutkan dahi, "Tidak beres bagaimana? Selama ini saya lihat, Kobayashi baik-baik saja kok. Apalagi dia ikut olimpiade menggantikan Hirate,"
"Ya, coba bapak pikir. Mana ada orang yang mengunci dirinya sendiri dalam loker? Saya yakin ini sebuah kesengajaan!" Jelas Nijika dengan nada meyakinkan. Tapi, guru laki-laki itu menggeleng seolah enggan mempercayai asumsi Nijika.
"Jangan bercanda, Ishimori-san. Kamu mau bilang kalau sekolah ini memiliki budaya bullying begitu? Saya lebih lama berada di sekolah ini dan tidak ada satupun kasus yang beredar. Mungkin ini keteledoran Kobayashi saja." Kata guru itu, menimpal balik. ".. yang penting, kan, Kobayashi tidak apa-apa. Saya masih ada urusan, ada-ada saja."
"Tapi, pak!" Nijika berdecak sebal saat rekannya pergi begitu saja dengan mendumal. Ia benar-benar kehilangan akal, ia pikir hanya lingkungan guru saja yang seperti ini ternyata ada juga murid yang menjadi korban. Ia merasa kesal.
Sementara Yui merasakan kepalanya sakit dan pandangannya kabur saat ia membuka mata. Ia dapat melihat ruangan dengan cat dinding krem halus yang begitu meneduhkan, terdapat suara televisi yang kemudian terdengar.
"Sudah sadar?" Yui menolehkan pandangannya ke arah gadis yang betah berdiri disana selama satu jam penuh, Hirate Yurina.
"K.. au?"
"Pingsan."
Yui kemudian teringat apa yang terjadi padanya barusan, dikurung dalam loker yang pengap dan minim ventilasi, ia pikir dirinya akan mati konyol disana. "Ah.."
"Tenang. Yang menyelamatkanmu bukan aku tapi Ishimori-sensei, kamu bisa mengucapkan terima kasih padanya setelah kamu stabil." Sambung Yurina. "... Apa ini perbuatan mereka lagi?"
Yui menghela nafas, "Apa kamu memberitahukan hal tersebut pada sensei?"
Yurina menggeleng. Ia dapat melihat Yui mengangguk kecil, Yui kemudian mencoba mengubah posisinya menjadi duduk, "Kau jangan beritahu siapapun!"
"Tapi..."
"Tolong jangan ikut campur lagi," sambung Yui dengan tegas. Walau kepalanya masih sakit, dia memaksakan dirinya untuk turun dari kasur. Yurina berusaha membantu Yui namun tangannya kembali di tepis.
"Aku bisa sendiri." Yui pun menyeret tubuhnya keluar dari UKS sendirian. Yui hampir saja terpeleset kalau tidak ada seseorang yang menahan tubuhnya di belakang.
"Apa kau sakit?" Yui menoleh ke belakang setelah menyadari suara lembut yang baru saja terdengar. Sosok gadis dengan seragam yang seirama dengannya menatap Yui dengan datar.
"W-watanabe Risa?"
Siapapun kenal siapa itu Watanabe Risa, gadis yang dibesarkan oleh keluarga yang sangat berpengaruh di dunia entertein ini adalah model majalah yang cukup terkenal karirnya. Dia sekelas dengan Yui namun Yui jarang melihat Risa karena kesibukannya.
"Hai, Kobayashi." Risa tentu mengenal gadis ini. Gadis Saitama yang kepindahannya membuat geger karena berhasil menggeser posisi Hirate Yurina dalam calon peserta olimpiade.
"A-ah.. maaf," Yui segera menjarak dari Risa. Baginya Risa adalah sosok yang sempurna, ia memiliki segala yang Yui tak punya, itu membuatnya menjadi merasa kecil dihadapan Risa.
Sementara Risa sendiri tersenyum simpul, "Tak masalah, sungguh, kau tak perlu minta maaf."
"Mau kembali ke kelas?" Tanya Risa lanjutnya, Yui mengangguk, bagaimanapun ia tidak boleh absen, ini akan berpengaruh pada performanya nanti.
"Kalau gitu ayo bersama-sama." Ajak Risa.
"Eh?" Yui mendongak, "Apa tidak apa-apa?"
"Memangnya ada larangan soal itu?" Risa mendorong pelan pundak Yui, "Lagipula aku tidak bisa melihatmu sendirian dengan tubuh lemah begitu, ayo!"
Risa menggeser pintu kelas dan mendapati semua mata terarah padanya, ah, bukan hanya dia melainkan pada Kobayashi Yui di belakangnya. Yui terlihat menunduk, ia sungguh tidak terbiasa dengan tatapan orang-orang, buktinya ia buru-buru lari ke tempat duduknya sementara Risa berjalan ke segerumbulan perempuan yang sedang asik mengobrol.
"Kau sedang apa bersama Kobayashi itu?" Tanya seorang gadis pada Risa setelah ia duduk.
"Kami tak sengaja bertemu di lorong. Kenapa?"
"Ya ampun, Ris. Ku harap itu menjadi pertama dan terakhir kalinya kamu berbarengan dengan anak itu!"
Risa tersenyum miring, "memangnya kenapa?"
"Dia.. dijauhi anak-anak. Jangan dekat-dekat lagi deh pokoknya, bahaya kalau nanti yang lain buat gosip tak sedap karena anak itu dekat denganmu." Jawab seorang lagi dengan melirik ke Yui di ujung sana.
Risa mengerutkan dahi, tangannya terkepal namun ia memaksakan dirinya tersenyum. "Benarkah? Kalau begitu, aku akan berhati-hati."
***
Langit biru tak selamanya indah, mungkin itu yang dirasakan oleh Yuuka seorang. Di dalam kamar rumah sakit ini, ia dapat melihat langit biru nan cerah dari jendela, kalau ia tidak terjebak disini mungkin dia sudah akan berpergian bersama yang lain.
Mendadak dadanya merasa sesak mengingat kenyataan yang kini menghantuinya. Bangkrut. Jujur, Yuuka belum siap untuk itu. Ia benar-benar tidak ingin kehidupan indahnya ini hancur hanya karena kehilangan ayahnya nanti.
Dokter bilang ayahnya mungkin tidak dapat disembuhkan, ia dirawat agar penyakitnya tidak merambat dan mempeparah kondisi beliau. Walaupun begitu, kondisi ayahnya ini sungguh memperhatinkan. Ia tidak bisa makan, minum? Semua tergantung pada infus.
Dan Yuuka bukan anak bodoh lagi yang mengira biaya rumah sakit itu murah, ia sudah berkonsultasi pada kakak angkatnya. Sementara ini, kakaknyalah yang berusaha mati-matian melanjutkan usaha sang ayahnya yang sudah berada di tingkat terendah karena rahasia hutanh yang melejit.
Yuuka mengusap kedua matanya. Apa yang harus ia lakukan? Ia bahkan tidak tahu. Ia hanya berharap kalau ini semua hanya mimpi saja, tak lebih. Seketika ia teringat akan ponselnya yang ia letakan di atas meja, begitu ia menyalakan ponsel dan membuka aplikasi chat.
Nama yang selama ini tak ia sangka-sangka berada di kolom teratas, Hirate Yurina.
"Apa kau ada di rumah sakit?"
/Black Sheep/