10.

317 53 14
                                    

Disebuah ruangan kelas yang kosong, Yurina dapat menyaksikan seorang yang menunduk ketakutan dengan tubuh kuyubnya. Dua orang lagi segera mengangkat ember dan menuangkan cairan hitam yang Yurina duga sebagai cairan bekasan cat ke tubuh gadis itu.

Yurina berusaha untuk pergi namun tubuhnya lagi-lagi tak mau bergerak, apa yang terjadi? Jangan bilang dia sedang mengalami mimpi yang sama seperti saat Yuuka dahulu!

"Rasakan kau berengsek!" Gadis itu dengan bangga menyelesaikan aksinya, membuat si korban akhirnya basah dengan tubuh yang menjadi berwarna merah.

"Kau pikir kamu bisa bebas dari kami hanya karena Risa, huh?"

Mendengar itu, Yurina langsung paham siapa yang kali ini dia mimpikan. Begitu seorang dari mereka menarik rambut sang korban, Yurina bisa melihat wajah Yui yang penuh luka lebam.

Dan dirinya tersentak, di atas tempat tidur, merasakan nafasnya yang naik turun tak beraturan. Mimpi itu terasa begitu nyata, Yurina bahkan sampai menampar dirinya untuk memastikan kalau sekarang ini bukanlah mimpi.

"Yurina." Yurina menoleh pada sang ibu yang kebetulan menerima tamu. "Kemari,"

"Kak Neru?"

Neru tersenyum tipis. Kedatangannya kemari adalah untuk bertemu Yurina adalah untuk berpamitan. Awalnya ia mengajak Yuuka tapi gadis itu benar-benar malu hingga tak ingin bertemu siapapun.

Yurina dan Neru kini berada di ruang tamu hanya berdua sementara sang ibu pamit undur diri mengurus yang lain. Neru menyesap tehnya dan kemudian menarik nafasnya.

"Aku kesini untuk berpamitan."

"Ah," Yurina mendongak, "Kalian mau pergi?"

"Ya, kami sudah putuskan untuk pergi. Yuuka akan mengurus semua dokumen kepindahannya dan pindah paling cepat rabu ini. Aku sangat berterima kasih karena telah menjadi salah satu dari teman Yuuka, anak itu pasti senang menjadi temanmu."

Teman? Apa iya terlihat seperti itu? Di bawah langit biru cerah seperti sekarang, Yurina merasa bahwa dunia jauh lebih gelap sekarang.

"Siapa itu? Dia tidak terlihat seperti teman di sekolahmu," tanya sang ibu yang masih betah di belakang Yurina.

"Dia.. kakak teman sekelasku,"

Langit secerah ini dimanfaatkan oleh Habu dan Minami untuk berpergian berdua. Habu benar-benar memanjakannya dengan baik, hal pertama yang ia sukai dari gadis jangkung tersebut.

"Hei, lihat, itu kan Koike!"

"Ih, kenapa dia menggandeng wanita? Apa itu pacarnya?"

Minami yang mendengar itu segera merinding ketakutan, Habu pun tak bisa melakukan apapun kecuali menutup telinga Minami dengan telapak tangannya.

"Jangan dengarkan mereka," kata Habu dengan sangat tenang seolah kata-kata mereka tak berpengaruh untuk Habu.

Kadang Minami iri, kenapa dia tidak bisa setenang Habu menghadapi semua tanggapan buruk soal mereka? Dia merasa sangat bersalah pada kekasihnya sendiri.

Ketika Habu dan Minami pulang, Habu mendadak mendapatkan panggilan bahwa dia harus ke tempat kerjanya segera mungkin. Setelah berpamitan, Minami akhirnya sendirian.

Langit biru tidak selalu indah, di balik senyum yang ia pamerkan pada Habu, ada penderitaan yang melekat. Minami berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengambil cutter di bawah tempat tidur.

"Ya.. aku harus kuat,"

Esok harinya, langit cerah berubah menjadi mendung. Bahkan gemuruh bisa di dengar oleh Yui selama perjalan sekolah. Ia dengan cepat mengayuh sepedanya agar tidak kehujanan.

Kuroi HitsujiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang