"Nana, bisa kerjakan soal di papan tulis?"
Nana mengangkat kepalanya saat sang guru menyuruh untuk mengerjakan rentetan soal angka yang tertulis di papan depan kelas.
Ia bangkit dari bangku, tanpa ekspresi berjalan ke depan kelas. Jemari lentik yang putih miliknya meraih kapur, lalu mulai menjawab semua pertanyaan yang ada di papan tulis. Dengan tenang. Tanpa beban.
Sesekali pemuda manis yang pendiam itu membetulkan letak kacamatanya yang melorot, lalu lanjut menjawab. Siswa-siswi yang berada di kelas memperhatikannya dengan kagum.
Nana benar-benar pintar, pikir mereka.
Sementara sang guru menatap salah satu siswa kesayangannya itu dengan bangga. Nana memang pintar, tidak diragukan lagi. Pemuda itu bahkan pernah memenangkan juara umum olimpiade Matematika tingkat Internasional. Guru mana yang tidak bangga dengannya?
Nana meletakan kembali kapur pada tempatnya. Ia sudah menyelesaikan semua soal. Ia sedikit membungkuk pada gurunya lalu kembali pada bangkunya yang berada di pojok paling belakang kelas.
"Nana, kau memang pintar!" seru teman yang duduk di depannya, Chenle. Nana tidak menjawab, hanya tersenyum kecil. Pemuda imut di depannya itu tersenyum maklum.
Nana adalah pemuda manis yang pendiam. Ia jarang berbicara di sekolah. Penampilannya culun, seperti kebanyakan penampilan anak pintar lainnya.
Tidak banyak anak-anak yang ingin berteman dengannya, mungkin mereka jengah dengan sikap Nana yang sangat pendiam dan tidak asik. Oleh karena itu, Nana tidak memiliki banyak teman. Hanya Chenle yang mau menyapanya, meski Chenle tahu, Nana tak akan membalas sapaannya.
🐁🐁🐁
Di sisi lain.. di tempat berbeda, sekolah berbeda, seorang pemuda terdiam memandang papan tulis dihadapannya.
Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dituliskan gurunya disana. Semua yang berada di papan tulis adalah angka-angka yang membuat kepalanya pusing.
"Jaemin! Cepat jawab!" Sang guru yang sejak tadi memandangnya jengah, akhirnya naik pitam juga. Ia memandang Jaemin geram kala pemuda Na itu menghela nafas pasrah.
"Aku tidak bisa, guru," jawab Jaemin sangat pelan.
Kini pandangan gurunya melemah, ia menghela nafas lelah melihat salah satu siswa yang ia ajar sama sekali tidak berubah. Jaemin dari dulu selalu saja menjadi siswa terbodoh di kelas.
"Apa semalam kau tidak belajar?" tanya Guru Kim.
Jaemin menggeleng dengan sangat pelan. Ia bahkan tidak pernah membuka buku pelajaran saat di rumah.
Lagi-lagi Guru Kim menghela nafas. Ia menunjuk seorang siswa lain, "Mark Lee, kau maju, dan kerjakan soal di papan tulis. Na Jaemin, kau duduklah. Dan pelajari soal ini!"
Siswa yang di panggil segera maju. Ia menyeringai kecil pada Jaemin sembari berdesis, "Rasakan bodoh."
Jaemin mengepalkan tangannya sembari menahan emosi. Jika saja disana tidak ada guru, pasti saat ini Mark sudah babak belur dibuatnya.
Setelah merasa sedikit tenang, Jaemin melangkah ke bangkunya, lalu mendudukan dirinya.
"Kau tidak apa-apa? Si bodoh itu mengatakan apa?" Segera saja teman sebangku Jaemin meluncurkan rentetan pertanyaan yang membuat pemuda sangar itu semakin kesal.
"Diamlah, Haechan!" Bentak Jaemin.
Yang di panggil Haechan sama sekali tidak menutup bibirnya, ia kembali mengoceh. "Kau harus belajar. Jika tidak, kau tidak akan mendapat gelar itu di akhir tahun! Dan Jeno yang akan mendapatkannya!"
Mendengar nama seseorang yang sangat di bencinya, Jaemin malah semakin kesal.
"Cih! Tidak akan ku biarkan Jeno merebut gelar yang sudah aku incar dari dulu! Dia itu bodoh! Dia hanya mengandalkan si bodoh yang ada di depan kelas itu untuk meraih gelar itu! Mereka semua bodoh!"
Haechan mengangguk setuju mendengar makian Jaemin kepada para bodoh yang dimaksud. Bahkan mereka sama sekali tidak sadar bahwa mereka lebih bodoh dari orang-orang yang mereka maki.
"Jaemin-ah, kau harus belajar!" sahut seseorang yang duduk di belakang Jaemin, teman Jaemin yang lain.
"Diamlah, Jungwoo! Aku sedang tidak mood untuk meladeni ocehan kalian!" sembur Jaemin.
Ia sedang kesal sekarang, tapi kenapa teman-temannya tidak ada yang mengerti?
"Hey!" bisik seseorang dari luar jendela yang dekat dengan bangku tiga sekawan itu. Jaemin yang mendengarnya segera menoleh, teman dekatnya yang lain yakni Jisung sedang mengintip sambil memberi kode pada Jaemin untuk ikut padanya, oh tentu saja ikut membolos.
"Hey, hey! Ayo kita bolos!" bisik Jaemin pada Haechan dan Jungwoo. Kedua temannya langsung saja mengangguk setuju.
Mereka bertiga memperhatikan Guru Kim yang sedang berbicara dengan Mark, lalu mengendap-endap dari bawah bangku mereka dan keluar dari kelas. Dasar anak-anak berandal.
Na Jaemin adalah pemuda yang menjunjung tinggi asas kebebasan. Ia pemuda yang penuh percaya diri, mendekati tidak tahu diri. Dia memang ramah, tapi nakal. Sifat nakalnya membuat jengah semua guru, ditambah otaknya yang bodoh. Guru mana yang tidak jengah padanya?
Walau begitu, Jaemin sangat disukai teman-temannya. Oh tentu saja hanya temannya yang menyukainya, bukan rival-nya, Lee Jeno.
Gelar yang dibacarakan Haechan tadi adalah King of High School. Gelar itu di berikan untuk siswa yang populer di sekolah pada acara perpisahan sekolah. Bukan populer karena kenakalan seperti Jaemin, tapi populer karena kepintaran dan ketampanan. Dan gelar itulah yang di perebutkan oleh Jaemin dan Jeno, membuat mereka saling membenci satu sama lain.
Sangat kekanakan.
Hai aku comeback dengan ff nomin ya
Ini ff aku remake dengan pairing asli favoritku selain Nomin. Haehyuk, alias Dimas x Eko.
Thanks for authornim little cheonsa yang udah ngasih izin buat di remake ff-nya.Thanks juga buat kalian yang masih mau stay baca ff aku meskipun aku labil kaya babeh whygee.
Btw, next ngga?
[ piceboo & little cheonsa, 2019 ]
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] King of High School | Nomin
Fanfiction[ R E M A K E ] ❝Bagaimana bila Lee Jeno jatuh cinta pada saudara kembar musuh bebuyutannya?❞ ⚠️bxb ʟᴇᴇ ᴊᴇɴᴏ ✖️ ɴᴀ ᴊᴀᴇᴍɪɴ ғᴀɴғɪᴄᴛɪᴏɴ { Start: 01-03-19 } { Finish: 20-05-19 } piceboo & little cheonsa, 2019