29. Ventinove

12.3K 1.8K 78
                                    

"Ayo pulang." ajak Jeno dengan lembut. Ia melepas pelukannya dan menatap Nana yang masih sangat pucat, "astaga, kau pucat sekali," ujar Jeno makin cemas. Dia menempelkan punggung tangannya pada kening Nana dan meringis mendapati pemuda manis dihadapannya ini demam tinggi.

Dengan gesit Jeno melepas jaket di tubuhnya, lalu memakaikannya pada tubuh kurus Nana. Nana hanya diam pasrah, ia tak memiliki tenaga lagi untuk berbuat sesuatu.

Nana menurut saat Jeno berjongkok membelakanginya dan menyuruhnya naik ke punggung Jeno.

"Naiklah ke punggungku," perintah Jeno lembut. Nana menurut, ia naik ke punggung Jeno, memeluk lehernya erat dan menyandarkan kepalanya di bahu lebar pemuda tampan itu. Jeno bangkit, pergi keluar dari gudang dan menuruni tangga keluar dari sekolah.

Tidak ada angkutan umum lagi di waktu dini hari seperti ini. Dengan perlahan Jeno berjalan dengan Nana yang ada di gendongannya. Nana tampak mengeratkan pelukannya pada leher Jeno dan makin menempel pada bahu pemuda itu.

"Apa kau kedinginan?" tanya Jeno lembut tanpa menoleh. Ia tetap menatap jalanan di depan.

Nana menggeleng pelan, "tidak. Punggungmu begitu hangat," gumam Nana jujur. Punggung pemuda yang ia cintai itu memang hangat dan ia menyukainya.

Jeno diam tak menanggapi, tak tahu harus berkata apa. Dia terus berjalan lurus.

"Jeno-ya.." panggil Nana pelan.

"Hm?" gumam Jeno menanggapi.

"Terima kasih sudah mencariku," ucap Nana, ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah Jeno yang tepat dekat di sisinya, "dan maaf untuk semuanya."

Jeno menghentikan langkahnya. Ia terus memandang jalanan di depannya. "Bodoh," gumam Jeno. Ia refleks menoleh pada Nana hingga pandangan mereka bertemu satu sama lain.

Jeno menatap mata Nana yang ia rindukan itu dengan dalam, begitu pula Nana. Mata keduanya terpejam sesaat kemudian, dan entah siapa yang memulai, kedua bibir itu bertemu, saling menyesap dengan lembut, menyalurkan rasa cinta melalui ciuman lembut yang sarat akan kerinduan itu.

Angin malam berhembus pelan, tak membuat mereka berhenti untuk menyalurkan kerinduan. Di langit hitam diatas sana, bintang-bintang dan bulan seakan tersenyum melihatnya.

🐁🐁🐁

Jaemin tak tahu harus mencari dimana lagi. Ia berjalan gontai menuju apartemennya. Wajahnya begitu sembab sehabis menangis terus menerus.

Pemuda itu memasukan sandi apartemen, melangkah masuk dengan lemas, melepas sepatunya dan meletakannya di rak. Namun ada sesuatu yang membuat Jaemin merasa ganjal, ada sepasang sepatu dan sandal disana. Jaemin tahu itu sepatu milik Nana, tapi ia tak mengenali sandal satunya.

"Apa Nana sudah pulang?" gumam Jaemin cemas. Dengan cepat ia berlari ke kamar kembarannya, membuka pintunya dengan kasar. Disana, Nana terbaring lemah di ranjangnya, Jaemin terkejut melihat ada orang lain disana selain Nana.

"Lee Jeno?" sergah Jaemin tak percaya. Jeno tampak sedang mengompres dahi Nana. Jaemin mendekat dengan tergesa dengan tatapan tak mengerti.

"Kenapa kau—" Jaemin tak mampu melanjutkan perkataannya saking kagetnya. Bukankah Jeno tadi tidak mau mencari Nana? Bukankah Jeno tadi mengusirnya? Tapi kenapa sekarang dia malah ada disini dan merawat Nana?

"Tenanglah, kau akan mengganggu tidurnya," gumam Jeno pelan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Jaemin. Jeno membereskan baskom kecil berisi ait pengompres, lalu membereskan kotak obat dan membawa mangkuk yang sudah tak ada isi lagi dan membawanya keluar.

Jaemin yang tak ingin mengganggu istirahat Nana memutuskan untuk keluar mengikuti Jeno. Ia butuh penjelasan dari si brengsek itu. Dengan sabar Jaemin menunggu Jeno di ruang tengah.

"Jadi, bagaimana kau bisa membawanya kesini?" tanya Jaemin to the point saat Jeno sudah ada di hadapannya.

"Apa kau tidak bisa mengurus Nana? Kenapa—kenapa kau membiarkannya pergi ke sekolah saat dia sedang sakit begitu?!" alih-alih menjawab, Jeno membaliki pertanyaannya dengan pertanyaan lain.

Jaemin sedang lelah untuk berdebat saat ini. Ia menunduk dalam, ia akui ia memang kurang tegas pada Nana, ia tak sadar bahwa sebenarnya Nana sedang tidak baik-baik saja, "maaf..." Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Jaemin.

"Aku menemukannya terkunci di gudang sekolah," akhirnya Jeno menjawab, "tak lama setelah kau pergi, aku juga keluar mencari Nana."

"Siapa yang berani-beraninya mengurung Nana—" Jaemin berujar penuh emosi, ia mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Yang terpenting sekarang Nana sudah pulang, dan panasnya lumayan menurun," ujar Jeno lelah. Ia belum tidur sama sekali, dan ini sudah pukul tiga pagi.

Jeno bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu apartemen hendak pulang, namun berhenti saat Jaemin memanggilnya.

"Lee Jeno," panggil Jaemin ragu-ragu. Jeno berbalik, menatap Jaemin penuh tanya.

Jaemin mengangkat wajahnya dan sekuat tenaga membuka mulutnya untuk bicara.



"Terima kasih."

Jeno terdiam. Ini pertama kalinya Jaemin mengatakan terima kasih padanya. "Terima kasih untuk apa?" tanya Jeno sok tidak tahu.

Jaemin mengumpat dalam hati, si brengsek ini mempermainkan aku. "Terima kasih sudah menemukan dan merawat Nana. Sana pulang," ulang Jaemin dengan pengusiran di akhir.

"Tsk! Belajarlah cara berterima kasih yang benar dengan Nana," ujar Jeno sedikit menyeringai. Sedangkan Jaemin yang disindir seperti itu hanya memutar bola matanya malas.

"Oh iya," Jaemin kembali menghentikan Jeno yang baru saja akan keluar.

"Apa?"

"Aku dan Nana minta maaf karena telah berbohong pada kau dan lainnya, aku—"

"Nana sudah meminta maaf padaku dan sudah menjelaskan semuanya dengan lengkap," potong Jeno.

"Uhm Jeno..." Panggil Jaemin sekali lagi.

"Apa lagi!" Sahut Jeno sedikit ketus. Oh ayolah, Jeno benar-benar ngantuk dan ingin segera merebahkan dirinya di kasur kamarnya.

"Kumohon... Kumohon kembalilah pada Nana. Aku tahu dia sangat mencintaimu," pinta Jaemin dengan tulus, matanya menatap lurus pada Jeno, menunjukan bahwa ia sedang serius.

"Apa ini artinya kau tidak menentang hubungan kami?" tanya Jeno dengan senyum tipisnya.

"Karena aku menyayangi adikku, maka dengan sangat terpaksa aku menyetujuinya. Tapi... jika kau menyakiti adikku, aku tak akan melepaskanmu, aku akan membunuhmu. Camkan itu brengsek!" Ancam Jaemin. Pemuda Na itu memang punya harga diri yang tinggi, untuk mengakui bahwa ia setuju dengan hubungan adiknya dan Jeno pun sangat susah.

"Kupastikan aku tidak akan mati di tanganmu, itu artinya aku tidak akan menyakiti Nana," jawab Jeno mantap. Jaemin tahu pemuda Lee di hadapannya itu sedang serius.

"Terima kasih," ujar Jaemin lagi

Jeno mengangguk, dia berbalik lalu membuka pintu apartemen dan keluar dari sana. Sebelum menutup pintu, ia sempat berkata dengan seringai menyebalkan,

"Kita masih tetap bersaing untuk mendapatkan gelar King of High School secara sehat!" seru Jeno. Kemudian pintu ditutup dan melenyapkan wajah menyebalkan Jeno—menurut Jaemin.

"Lihat saja, aku pasti bisa mendapat gelar itu," seru Jaemin dengan percaya diri yang tinggi.


Tbc~


[ piceboo & little cheonsa, 2019 ]

[✔️] King of High School | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang