Dheana tidak tahu rencanaku pergi ke dokter kandungan. Sebelum berangkat aku mengirim pesan untuknya dan juga alamat yang jadi tujuanku. Aku takut terjadi sesuatu. Dia tadi pergi lebih awal, katanya ada test di kampus. Aku sudah dua tahun tinggal di apartment Dheana, Dia sahabatku sejak kecil. Kami masuk di Universitas yang sama hanya beda jurusan. Dheana sahabat yang sangat baik.
Rumah dokter kandungan itu terletak dipinggir kota. Tempatnya tidak begitu menyenangkan, sepi dan jauh dari jalan raya. Aku menitipkan mobil di parkiran Mall yang ada di depan gang menuju rumah dokter tersebut.
Sesampainya di depan rumah dokter itu, aku mendapati seorang ibu paruh baya dengan rambut sedikit beruban. Mukanya terlihat ramah dengan senyum yang begitu lembut. Sepertinya orang tidak akan menyangka kalau wanita ini bisa menggugurkan kandungan seorang wanita.
Dia langsung bertanya begitu aku duduk dihadapannya.
" Ada maksud apa datang kemari?" Tanyanya lembut. Aku tersenyum salah tingkah.
" Aku..aku Amara, ingin minta bantuan untuk...." Aneh ..aku tak sampai hati mengucapkannya tapi wanita itu mengangguk penuh pengertian.
" Kecelakaan?" Tanyanya kemudian.
" Ya...."
" Apa Dia tidak bertanggung jawab?" Tanyanya lagi.
" Ya" jawabku pendek.
" Disini aku hanya membantu wanita wanita yang mendapatkan kesulitan. Tetapi kepada mereka yang datang bersama lelakinya, aku menasehati mereka untuk segera menikah saja karena aborsi bukan jalan terbaik."
" Itu aku tahu..tapi aku ingin menggugurkannya."
" Apakah kau yakin. Aku lihat ada sedikit keraguan. Aku tidak tahu apa yang membuatmu ragu. Apakah sebenarnya kau menginginkan bayi itu?" Dia bertanya menyudutkanku.
Aku terdiam berusaha untuk menentramkan hati. Ada bisikan seolah aku tidak melakukan ini.
"Jawablah pertanyaanku, karena aku tidak bisa melakukannya jika kau ragu ragu."
Aaahhh...aku merasa tidak nyaman. Aku harus memutuskan segera. Aku harus melakukannya. Aku harus menyelesaikan sekolahku.
" Kerjakan saja..aku tidak akan merubah niatku."
" Baiklah. Ayo kita ke kamar periksa. " Dia menuntunku memasuki sebuah kamar. Aku disuruh berbaring di sebuah ranjang yang beralaskan sprei putih.
Aku merasakan jari jarinya di perutku. Aku merasakan sedih yang mendalam. Tanpa kuingin berkelebat gambaran bayi bayi mungil dalam pikiranku. Tubuhku bergetar hebat. Keringat mulai menetes. Air mataku tanpa sadar mengalir dikedua pipiku. Aku tersedu perlahan.
" Kau terlihat ketakutan." Kata kata dokter itu mengagetkanku.
" Berapa kali kau tidak mendapatkan haid?"
" Dua kali."
" Hhm...hampir masuk tiga bulan." Desisnya.
" Apakah sudah berbentuk?"
" Ya hampir tapi belum sempurna." Bisiknya.
Aku tambah kalut. Air mata kembali mengalir dipipiku.
" Sudah ku katakan kalau ragu lebih baik dibatalkan saja."
" Tidak...aku tidak mau punya bayi. Aku ingin bebas, ingin melanjutkan sekolahku." Kataku tegas.
" Kalau begitu, berbaringlah dulu. Berpikirlah dengan baik."
" Ooh..tidak..aku ingin cepat cepat selesai dan pergi dari sini."
" Tidak bisa semudah itu." Jawabnya lembut sambil pergi meninggalkanku sendiri.
Aku berbaring sambil memejamkan mata. Aku merasa tubuh dan jiwaku melemah. Sanggupkah aku menjalaninya. Aku tidak berhasil menghapus gambaran gambaran bayi itu. Bayi lucu yang akan tertawa tawa dan tumbuh dengan menggemaskan.
Apakah bayi ini sudah memiliki perasaan. Dia pasti akan sedih. Ya Tuhan...jika dia nanti keluar akan ada banyak darah. Atau mungkin aku akan pendarahan. Bagaimana kalau aku mati. Pasti Mama akan menjemputku dan membawaku ke Surga...apa..Surga??? Pantaskah Surga untuk seorang pembunuh sepertiku. Tangisku semakin deras. Rasa takut seolah mencengkram kuat. Napasku mulai sesak dan aku bersimbah peluh. Aku mendengar suara pintu dibuka. Dokter itu sudah berdiri dihadapanku.
" Apakah kau baik baik saja?"
" Aku baik baik saja." Segera aku mengusap air mata yang mengalir lancar dipipiku. Dokter itu tersenyum dan duduk disisi ranjang.
" Apakah Papamu tahu rencana ini?"
" Tidak..tentu tidak, Papa sedang keluar kota."
" Ibumu tidak tahu juga?"
" Ibuku sudah tidak ada..."
" Kalau begitu istirahatlah sebentar. Aku akan siapkan obatnya."
Sepeninggal dokter itu, tubuhku bergetar hebat. Aku sangat ketakutan." Tidak..tidak..aku tidak mau." Jeritku tanpa sadar.
Dokter masuk dengan wajah cemas." Ada apa Amara?" Tanyanya lembut.
" Aku takut."
" Istirahatlah. Berpikirlah dengan tenang." Ucapnya pelan. Aku berusaha memejamkan mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper of the Heart (Completed)
RomanceAmara Fritzi dilanda duka cita, ibunya meninggal dunia. Kini jiwanya terasa sepi, luka hatinya begitu dalam. Apalagi benih di rahimnya semakin besar. Beribu kali dia mengutuki kejadian di Villa Dheana, sahabatnya. Dimana Dia bertemu Rynaldi Albrecth...